Pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tentang ukuran celana jeans pria di atas angka 33 sebagai "alarm" kematian dini, barangkali terdengar ringan di telinga awam. Tapi justru di sinilah kekuatan komunikatifnya. Ukuran jeans lebih mudah dipahami masyarakat ketimbang istilah medis rumit seperti BMI (Body Mass Index) atau obesitas sentral. Gaya komunikasi publik Menkes yang mengakar pada realita sehari-hari, patut kita apresiasi sebagai bentuk peringatan dini berbasis budaya populer.
Fakta medis di balik ukuran jeans itu sungguh serius. Lingkar perut yang membengkak menyimpan lemak viseral yang berbahaya. Lemak jenis ini tak hanya bersarang diam-diam di perut, tetapi juga memicu badai senyawa pro-inflamasi seperti interleukin-6 (IL-6). Dalam dunia kedokteran olahraga dan metabolik, IL-6 adalah "alarm molekuler" yang bisa memicu kerusakan organ dalam jangka panjang. Ia merusak, membakar diam-diam dari dalam.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana obesitas bukan sekadar soal estetika tubuh, tetapi soal integritas fisiologis. Ketika lemak bertumpuk di tempat yang tak semestinya, tubuh perlahan berubah menjadi "pabrik peradangan". Jantung, hati, dan pankreas, semuanya bisa rusak dalam senyap, hanya karena budaya makan berlebih dan minim gerak.
Lingkar perut adalah cermin gaya hidup. Ketika kita gagal mengendalikan piring dan langkah kaki, tubuh bicara lewat penyakit. Mulailah hidup sehat bukan demi penampilan, tapi demi masa depan yang lebih panjang dan bermakna.
Menkes Budi Gunadi mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, tentang pentingnya berhenti makan sebelum kenyang. Bukan tanpa dasar, ajaran itu menegaskan prinsip moderasi dan kesadaran tubuh. Kita butuh kembali menjadikan tradisi hidup sederhana itu sebagai strategi nasional pengendalian obesitas. Kita butuh revolusi gaya hidup, bukan sekadar kampanye tempelan.
Olahraga lima kali seminggu selama 30 menit per sesi seharusnya menjadi standar nasional yang diinternalisasi dalam kurikulum pendidikan dan sistem kerja. Tapi ajakan saja tidak cukup. Kita harus menyiapkan insentif, fasilitas, dan kultur gerak aktif dalam komunitas, mulai dari anak-anak hingga lansia. Negara wajib memfasilitasi ekosistem sehat, bukan hanya menyerukan jargon.
Namun akar masalah obesitas di Indonesia tak hanya soal malas bergerak atau nafsu makan tak terkendali. Ia juga ditopang oleh kapitalisme rasa, yaitu produk-produk tinggi gula, garam, dan lemak (GGL) membanjiri pasar tanpa kendali. Iklan mereka menyasar anak-anak, remaja, dan kelas pekerja. Inilah saatnya negara berdiri tegak, mengambil peran sebagai pengatur arah konsumsi nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang menjadi turunan dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 sejatinya sudah membuka jalan. Tapi jika tak diikuti aturan teknis yang tegas dan berani, maka ia hanya akan menjadi "naskah hukum tidur" di laci birokrasi. Kita perlu keberanian politik untuk mengatur, bahkan menekan, industri makanan yang menyajikan kematian dalam bungkus kelezatan.
Kita butuh regulasi cukai GGL, bukan hanya sebagai penambal fiskal, tapi sebagai instrumen etika negara untuk menyelamatkan warganya. Negara lain seperti Meksiko dan Inggris telah lebih dulu melangkah dengan menetapkan label peringatan pada produk tinggi gula, dan melarang iklan produk tidak sehat di jam tayang anak-anak. Indonesia, bila masih ragu, akan terus menjadi pasar korban industri makanan rakus.
Label tinggi gula, tinggi garam, dan tinggi lemak harus wajib dan menonjol di setiap kemasan. Bukan sekadar angka kecil di balik kemasan yang hanya dipahami oleh ahli gizi. Label ini harus seperti rokok, menampar kesadaran bukan membisik pelan. Generasi milenial dan Gen Z harus diberikan kekuatan informasi, bukan dibuai oleh iklan manis yang menipu lidah.
Iklan produk tinggi GGL di media massa dan digital harus dibatasi secara hukum. Kita tidak bisa terus membiarkan anak-anak kita dijejali iklan biskuit tinggi gula dengan tokoh kartun lucu sebagai daya pikat. Ini bukan hanya soal kesehatan, ini soal masa depan bangsa yang hendak kita bentuk: apakah ingin sehat dan produktif, atau lemah dan konsumtif?
Kita juga harus mendorong reformasi total di sektor pendidikan dan konsumsi publik. Kantin sekolah harus menjadi pusat edukasi gizi, bukan ladang bisnis produk instan. Rumah sakit dan kantor pemerintah harus menjadi teladan konsumsi makanan sehat. Negara harus menjadi role model dalam setiap sendok makan dan langkah kaki warganya.
Obesitas bukan takdir, tapi akibat. Setiap sendok makanan dan menit yang kita habiskan untuk duduk adalah pilihan. Jadikan gerak dan kesederhanaan sebagai revolusi pribadi demi bangsa yang kuat dan generasi yang tangguh.Â
Pengendalian produk tinggi GGL tidak bisa dilakukan secara sektoral. Ia membutuhkan pendekatan lintas kementerian, dari Kesehatan, Perdagangan, Pendidikan, Komunikasi Digital, Hukum, hingga BUMN. Kita perlu membangun Satuan Tugas Nasional Anti-Obesitas, yang memiliki kekuatan regulasi, insentif fiskal, dan edukasi publik secara simultan.
Kini waktunya bukan hanya bicara. Regulasi teknis harus segera dirumuskan, cukai GGL harus diberlakukan, iklan produk obesogenik harus dibatasi, dan edukasi publik harus masif. Kita sedang berpacu melawan statistik kematian dini akibat obesitas. Dan kita tahu, bangsa yang lamban bergerak, akan tercecer di jalur sejarah.
Jangan biarkan ukuran jeans 33 menjadi sinyal kematian massal yang diabaikan. Sebab di balik lingkar perut itu, menyelinap krisis nasional yang diam-diam membunuh. Negara tak boleh menjadi penonton. Sudah saatnya kita membalikkan arah, dari konsumsi tak terkendali menuju hidup sehat yang terkawal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI