Pada Kamis, 15 Mei 2025, ruang sidang Komisi III DPR RI menjadi saksi sebuah ironi. Firli Norachim, pemilik Toko Mama Khas Banjar dari Kalimantan Selatan, hadir bukan sebagai pejuang UMKM yang dielu-elukan dalam berbagai seminar kewirausahaan, melainkan sebagai warga negara yang harus menghadapi proses hukum karena didakwa melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Firli dituduh melanggar Pasal 8 Ayat 1 huruf G UU Perlindungan Konsumen karena tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa pada produk olahan ikan yang dijualnya. Di mata hukum, itu memang pelanggaran. Namun yang membuat publik tergugah adalah status Firli sebagai pelaku UMKM, sebuah segmen ekonomi yang selama ini disebut-sebut sebagai tulang punggung ekonomi nasional.
Kehadiran Menteri UMKM Maman Abdurrahman, Kapolda Kalsel Irjen Rosyanto Yudha Hermawan, dan Kajati Kalsel Rina Virawati dalam rapat itu menandakan bahwa persoalan ini bukan sekadar persoalan hukum biasa. Maman bahkan turun langsung sebagai amicus curiae, sahabat pengadilan, menandakan bahwa ada kekhawatiran serius terhadap pendekatan hukum yang bisa mematikan geliat UMKM.
Dalam rapat tersebut, Maman mengungkapkan bahwa tidak sedikit produk dari toko roti ternama yang juga tidak mencantumkan label kedaluwarsa. Jika semua kasus serupa dibawa ke ranah pidana, akan sangat banyak pelaku UMKM yang berpotensi tersandung hukum. Ini bukan sekadar soal kealpaan administratif, tapi soal mekanisme pembinaan dan edukasi yang belum maksimal.
Realitas hukum ini sebagai bukti nyata dari kegagalan sistem dalam menyeimbangkan antara upaya menaikkan kelas UMKM dan kewajiban perlindungan konsumen. Dua hal ini seharusnya tidak saling menegasikan, melainkan berjalan seiring sebagai dua sisi dari koin pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
UMKM adalah laboratorium nyata ekonomi rakyat. Mereka bukan sekadar pelaku ekonomi, tetapi juga agen pemerataan dan pencipta lapangan kerja. Namun, ketika pelaku UMKM seperti Firli harus berurusan dengan pidana karena unsur kelalaian administratif yang belum sepenuhnya dipahami, maka kita sedang mengirim sinyal buruk: bahwa negara lebih suka menghukum daripada membina.
Kasus ini harus menjadi momen refleksi bagi seluruh pemangku kepentingan. Kita tidak bisa hanya berbicara tentang "UMKM naik kelas" tanpa memberi mereka akses terhadap literasi regulasi, pelatihan teknis, hingga pendampingan hukum. Banyak pelaku UMKM bahkan belum memahami secara detail kewajiban label, izin edar, hingga sistem sertifikasi pangan.
Bukan berarti pelanggaran seperti tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa harus ditoleransi. Tidak. Perlindungan konsumen adalah fondasi dari ekosistem usaha yang sehat. Tapi pendekatannya bisa bersifat administratif dan pembinaan terlebih dahulu, bukan langsung pidana. Sanksi pidana seharusnya menjadi jalan terakhir dalam penegakan hukum ekonomi.
Langkah Menteri Maman sebagai amicus curiae patut diapresiasi. Ini menunjukkan keberpihakan terhadap ekonomi kerakyatan. Tapi ke depan, peran ini perlu diperkuat oleh sistem. Dibutuhkan regulasi turunan atau Peraturan Menteri yang memberi ruang edukatif bagi pelanggaran pertama oleh UMKM kecil sebelum langkah represif diberlakukan.
Kita perlu membangun kerangka hukum yang responsif terhadap karakteristik UMKM. Regulasi tidak boleh menyamaratakan antara pelaku usaha besar dan kecil. Perlu ada affirmative action dalam perlakuan hukum, tanpa mengurangi esensi perlindungan terhadap konsumen. Ini adalah seni menyeimbangkan keadilan distributif dan keadilan prosedural.
Peristiwa ini juga membuka mata kita akan pentingnya digitalisasi dan standarisasi produk UMKM. Pemerintah daerah perlu aktif melakukan pelatihan dan menyediakan platform teknis yang membantu pelaku usaha kecil memahami dan menerapkan standar keamanan pangan, termasuk label kedaluwarsa dan informasi gizi.