Dunia memasuki babak baru perlombaan militer. Laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang dirilis 28 April 2025 mencatat peningkatan belanja militer global sebesar 9,4 persen antara 2023 hingga 2024, dengan total mencapai 2.718 miliar dolar AS. Ini merupakan lonjakan tertinggi sejak Perang Dingin berakhir. Bila dirunut dari 2015 hingga 2024, peningkatan mencapai 37 persen. Fenomena ini menunjukkan bahwa dunia tengah bergerak menuju konfigurasi baru keamanan internasional yang lebih berorientasi pada kekuatan militer dibanding diplomasi.
Negara-negara dengan belanja militer terbesar saat ini adalah Amerika Serikat, China, Rusia, Jerman, dan India. Di sisi lain, Eropa meningkatkan anggaran pertahanannya sebesar 17 persen akibat ketegangan geopolitik pascaperang Rusia-Ukraina. Di Asia, Myanmar mencatat lonjakan 66 persen, sedangkan di Timur Tengah, Israel meningkatkan belanja senjatanya hingga 65 persen. Kecenderungan ini sejalan dengan teori persenjataan modern yang menekankan bahwa negara tidak hanya membeli senjata untuk perang, tetapi juga sebagai alat tekanan politik dan penyeimbang kekuatan regional.
Dari perspektif teori pertahanan nasional, negara-negara tersebut tengah mengukuhkan postur pertahanan sebagai respons terhadap ancaman eksternal, ketidakpastian global, dan tekanan geopolitik. Namun, yang menjadi perhatian adalah kecenderungan militerisasi ini sering tidak dibarengi oleh peningkatan diplomasi atau pembangunan berkelanjutan. Ketidakseimbangan antara kekuatan keras (hard power) dan kekuatan lunak (soft power) justru menciptakan paradoks keamanan (security dilemma), yaitu semakin kuat suatu negara mempersenjatai diri, semakin besar ketakutan negara lain, dan akhirnya memperkuat perlombaan senjata.
Akar dari tren ini bisa ditelusuri ke periode kepemimpinan Donald Trump (2017--2021) yang secara terbuka menuntut anggota NATO untuk meningkatkan kontribusi militer mereka. Pendekatan transaksional ini mendorong negara-negara Eropa dan bahkan Asia untuk mulai serius membangun kapasitas pertahanannya. Ketegangan di Laut China Selatan juga mempercepat pembelian senjata oleh Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia sebagai bentuk respons terhadap dominasi militer China di kawasan.
Negara yang kuat bukan yang paling banyak membeli senjata, tapi yang paling cerdas menggunakannya untuk mencegah perang. Ketika dunia berlomba mempersenjatai diri, Indonesia harus berlomba membangun kemandirian pertahanannya.
Indonesia harus cermat menyikapi dinamika ini. Tidak bijak bila Indonesia terjun dalam kompetisi belanja senjata tanpa arah strategis. Di sinilah pentingnya pendekatan strategi pertahanan semesta, bahwa pertahanan nasional tidak cukup hanya dengan membeli alutsista, tetapi membangun kekuatan pertahanan yang mandiri, adaptif, dan terintegrasi antara militer, industri, dan masyarakat. Dalam hal ini, PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia memegang peran kunci sebagai produsen senjata strategis.
Dari pendekatan teori persenjataan modern, penguatan alutsista bukan hanya pada kuantitas, tetapi kualitas dan kecanggihan teknologi. Drone, rudal presisi, sistem pertahanan siber, dan kecerdasan buatan kini menjadi tulang punggung militer modern. Indonesia tidak boleh hanya berpikir dalam kerangka pembelian, tetapi harus menjadi pemain inovatif dalam pengembangan senjata generasi baru yang mampu bersaing di pasar global dan memperkuat posisi strategis bangsa.
Pengembangan industri pertahanan nasional harus dikaitkan langsung dengan diplomasi pertahanan. Senjata tidak hanya digunakan untuk bertahan, tetapi juga menjadi alat negosiasi dan kerja sama internasional. Dengan membangun reputasi sebagai produsen alutsista yang andal, Indonesia bisa menjadi mitra strategis negara-negara berkembang yang membutuhkan sistem pertahanan terjangkau namun efektif.
Namun demikian, Indonesia juga tidak boleh mengabaikan keseimbangan antara pembangunan militer dan pembangunan sosial. Belanja pertahanan yang tidak diarahkan secara strategis berisiko menggerus anggaran pendidikan, kesehatan, dan riset. Oleh karena itu, perencanaan pertahanan Indonesia harus disandarkan pada prinsip cost-effectiveness, bukan sekadar mengikuti tren global yang belum tentu relevan dengan kebutuhan nasional.
Dalam dunia yang semakin tidak menentu, pertahanan yang tangguh tidak hanya berarti memiliki banyak senjata, tetapi juga memiliki kapasitas adaptasi, sistem logistik yang efisien, dan SDM militer yang profesional. Teori pertahanan nasional mengajarkan bahwa kekuatan militer adalah alat pelindung bangsa, bukan simbol kekuasaan. Dengan mengedepankan kebijakan berbasis riset, teknologi dalam negeri, dan kerja sama internasional, Indonesia bisa menjadi negara yang kuat tanpa harus menebar ancaman.
Peningkatan belanja militer global adalah sinyal keras bagi Indonesia untuk berbenah, bukan untuk latah. Dengan memadukan teori pertahanan nasional dan strategi persenjataan modern, Indonesia dapat menjadikan momentum ini sebagai batu loncatan untuk membangun sistem pertahanan yang mandiri, adaptif, dan berorientasi pada perdamaian. Dunia boleh makin bersenjata, tetapi Indonesia harus tetap menjadi jangkar stabilitas kawasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI