Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menjaga Harmoni 75 Tahun Diplomasi RI-Cina, Arsitektur Ekonomi Baru

22 April 2025   21:25 Diperbarui: 22 April 2025   21:25 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menlu dan Menhan RI bersama Menlu dan Menhan China dalam potong tumpeng perayaan 75 tahun diplomasi (Sumber: akurat.co)

Hari Senin, 21 April 2025, Beijing menjadi saksi sejarah penting peringatan 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Di tengah suasana persahabatan yang hangat, hadir tokoh-tokoh penting seperti Menlu Sugiono, Menhan Sjafrie Sjamsoeddin, hingga Dubes RI Djauhari Oratmangun. Dari pihak tuan rumah, hadir pula Menlu Wang Yi dan Menhan Dong Jun. Namun yang paling menarik, ini bukan sekadar seremoni diplomatik. Ini adalah momen strategis.

Mengapa penting? Karena Indonesia dan China tidak hanya berbicara soal hubungan bilateral. Keduanya kini berada di pusat peta ekonomi dunia. China telah menjadi mitra dagang terbesar Indonesia selama 12 tahun terakhir. Lebih dari itu, Negeri Tirai Bambu juga konsisten menjadi salah satu investor asing terbesar di tanah air.

Di panggung global yang sedang diguncang perang tarif dan proteksionisme Amerika Serikat, hubungan Indonesia-China kini ibarat dua perahu besar yang berlayar bersama dalam arus geopolitik yang deras. Dan ketika Presiden China Xi Jinping menelepon Presiden Prabowo Subianto pada 13 April lalu untuk menegaskan komitmen memperkuat kemitraan strategis, kita tahu bahwa ini bukan relasi biasa.

Hubungan diplomatik yang kuat bukan hanya tentang masa lalu yang dihormati, tapi masa depan yang dibangun bersama dengan visi, keberanian, dan saling percaya untuk menciptakan tatanan ekonomi global yang lebih adil dan setara. 

Dalam kacamata teori perdagangan internasional klasik, seperti absolute advantage dan comparative advantage ala Adam Smith dan David Ricardo, kolaborasi RI-China mencerminkan simbiosis saling melengkapi. Indonesia punya komoditas primer dan sumber daya alam, China punya teknologi, manufaktur, dan pasar global. Keduanya mengisi kekosongan satu sama lain.

Namun dalam era perdagangan global modern, kita sudah bergerak ke konsep strategic trade theory. Teori ini menyoroti bagaimana negara bisa menggunakan kebijakan industri, investasi, dan diplomasi dagang untuk menciptakan posisi kompetitif di pasar global. Di sinilah peran BRICS menjadi sangat relevan.

Sebagai dua kekuatan ekonomi utama di BRICS, Indonesia dan China memiliki peluang untuk membangun sistem perdagangan yang lebih adil, mandiri, dan tidak sepenuhnya bergantung pada dominasi dolar atau sistem pembayaran Barat. Maka ketika Amerika mulai mempertanyakan QRIS dan GPN sebagai sistem pembayaran domestik Indonesia, kita tahu ini lebih dari isu teknis. Ini adalah soal kedaulatan ekonomi. Soal siapa yang mengontrol arus uang. Dan di sinilah Indonesia perlu memainkan peran sebagai middle power yang cerdas, bersahabat dengan semua, tapi tegas menjaga kepentingan nasional.

China tentu punya kepentingan besar di kawasan. Bukan hanya karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dengan pasar besar, tetapi juga karena letaknya yang strategis di jalur perdagangan Indo-Pasifik. Dalam konteks ini, Belt and Road Initiative (BRI) bukan lagi sekadar proyek infrastruktur. Ini adalah strategi geostrategis dan geoekonomi. Hal yang menarik, Indonesia tak tinggal diam. Dalam kerangka pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), China juga menjadi mitra utama pembangunan. Bagi China, ini bukan hanya proyek prestise, tetapi juga peluang memperluas pengaruh dalam kerangka south-south cooperation.

Lalu bagaimana sebaiknya Indonesia bersikap? Pertama, kita harus menegosiasikan setiap kerja sama dengan prinsip mutualisme sejati. Tidak boleh ada lagi cerita jebakan utang atau debt trap diplomacy. Transparansi dan akuntabilitas harus dijaga. Kedua, Indonesia harus menggunakan posisi strategisnya di BRICS sebagai bargaining chip. Misalnya, mendorong penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan regional dan memperkuat sistem pembayaran alternatif seperti QRIS lintas negara. Ketiga, kolaborasi Indonesia-China harus mendorong transfer teknologi dan penguatan kapasitas industri nasional. Jangan sampai kita hanya jadi pasar atau penonton dalam industrialisasi Asia.

Di tengah dunia yang terpecah oleh perang dagang dan ego kekuasaan, Indonesia dan China punya peluang menjadi jangkar stabilitas dan inovasi, menyatukan kekuatan Asia demi kedaulatan ekonomi dan keadilan global. 

Hubungan ini harus membawa nilai tambah, bukan sekadar angka perdagangan. Indonesia harus menjadi value creator, bukan hanya value receiver. Dalam bahasa teori keunggulan kompetitif Porter, kita harus membangun daya saing berbasis inovasi, bukan hanya biaya murah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun