Aksi premanisme yang dilakukan oknum organisasi masyarakat (ormas) di sejumlah lokasi industri akhir-akhir ini bukan hanya meresahkan, tapi juga menampar wajah negara hukum kita. Ketika sekelompok orang bisa dengan mudah melakukan pemalakan, intimidasi, bahkan kekerasan terhadap pelaku usaha, kita harus jujur bertanya: apakah negara ini benar-benar berdaulat atas hukum?
Fenomena ini mencerminkan bagaimana ormas tertentu, yang seharusnya menjadi mitra sosial, justru berubah menjadi aktor informal kekuasaan. Kita seperti dipaksa menonton negara dikerdilkan oleh premanisme berbaju organisasi. Dan ironisnya, semua itu terjadi tanpa ada sanksi hukum yang tegas, seakan-akan hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Dalam konteks politik elektoral, terutama Pilkada langsung, kita juga harus mengakui fakta getir: ormas sering menjadi "mesin politik" di banyak daerah. Mereka berjasa memenangkan pasangan calon kepala daerah. Dengan mobilisasi massa, tekanan sosial, hingga operasi politik, ormas-ormas ini menanamkan utang budi politik yang mahal harganya.
Pasca kemenangan, hubungan "balas budi" ini menciptakan jebakan. Gubernur, Bupati, dan Wali Kota seringkali tidak berani menindak ormas-ormas ini meski sudah melanggar hukum. Ketakutan kehilangan dukungan atau bahkan ancaman destabilitas politik membuat kepala daerah memilih diam. Ini adalah benih-benih dari negara dalam negara.
Di sisi regulasi, sesungguhnya kita sudah memiliki payung hukum yang cukup: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU ini memberi mandat kuat kepada pemerintah untuk membina, mengawasi, hingga membubarkan ormas yang menyimpang. Tapi problemnya bukan kekurangan hukum, melainkan kekurangan keberanian politik.
Kini, dengan wacana revisi UU Ormas bersama DPR, ada peluang untuk memperbaiki situasi ini. Tapi kita harus hati-hati: revisi jangan sampai menjadi alat politik untuk memberangus kebebasan berserikat. Demokrasi yang sehat memerlukan ormas yang hidup dan beragam, bukan dikungkung oleh ketakutan berlebihan pada bayangan "premanisme."
Mengacu pada teori premanisme dalam politik (seperti yang dibahas Diego Gambetta dan James C. Scott), premanisme tumbuh subur di ruang kosong negara. Ketika negara gagal menyediakan keadilan, keamanan, dan kesejahteraan, "aktor informal" seperti preman, mafia, atau ormas liar mengisi kekosongan itu dengan logika kekuasaan mereka sendiri.
Data terbaru dari Kemendagri per 5 Maret 2024 mencatat jumlah ormas di Indonesia mencapai 554.692. Ini bukan angka kecil. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 1.530 ormas yang memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), sementara 553.162 lainnya berbadan hukum. Banyak ormas yang hidup tanpa kontrol ketat, menjadi potensi laten gangguan sosial.
Kita perlu mendorong lahirnya ormas yang profesional, transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat. Artinya, evaluasi terhadap ormas harus dilakukan berbasis kinerja dan manfaat sosial, bukan sekadar loyalitas politik atau kekuatan mobilisasi.
Kita juga tidak boleh melupakan pelajaran dari penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Saat itu, Perppu ini dinilai kontroversial karena digunakan secara subjektif untuk membubarkan beberapa ormas tertentu, dan justru menurunkan Indeks Demokrasi Indonesia. Ini alarm keras bahwa regulasi ormas harus proporsional dan berbasis hukum, bukan selera penguasa.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik, Indeks Demokrasi Indonesia memang masih rentan. Salah satu indikator krusialnya adalah kebebasan berserikat dan berkumpul. Jika kita membiarkan premanisme berbaju ormas, maka kualitas demokrasi kita akan terus menurun, karena warga sipil kehilangan rasa aman dalam berdemokrasi.