Hari Bumi 22 April 2025 menghadirkan momentum refleksi kebijakan pembangunan berbasis kelautan. Di tengah gaung perubahan iklim dan tantangan keberlanjutan, Bupati Jepara Witiarso Utomo menggulirkan kembali wacana lama yang sempat redup, yaitu Pembangunan Pelabuhan Jepara. Isu ini sesungguhnya bukan hal baru. Pada 2015, Jepara pernah digadang sebagai kawasan industri kelautan bertajuk Kalingga Industrial Zone, konsep yang kala itu belum punya cukup daya dorong. Kini, dengan arus industri yang makin tumbuh, Jepara berpeluang menjelma sebagai simpul logistik baru di pesisir utara Jawa Tengah.
Akan tetapi, peluang itu harus dibaca dengan kaca mata bijak. Salah satu pelajaran paling mahal datang dari Kendal. Sejak diresmikan pada 2016 dengan dana mencapai Rp567 miliar, Pelabuhan Kendal belum mampu bertransformasi sebagai simpul logistik yang kuat. Padahal, Kawasan Industri Kendal (KIK) sudah hadir. Sayangnya, makraknya aktivitas pelabuhan, bahkan untuk sekadar pelayaran antarpulau, menunjukkan betapa ekosistem pelabuhan tak bisa tumbuh hanya dengan membangun fisik dermaga.
Pada September 2024, PT ASDP Indonesia Ferry mengeluhkan tidak bisa bersandar di Pelabuhan Kendal akibat pendangkalan. Ini sinyal kuat bahwa pelabuhan tanpa perencanaan matang dan sistem pendukung yang kuat hanya menjadi proyek infrastruktur tanpa nyawa. Kendal gagal menjadi pelabuhan penyeberangan, bahkan gagal menopang Pelabuhan Tanjung Emas yang selama ini kelebihan beban.
Jepara harus belajar dari kegagalan tersebut. Sebagai daerah dengan panjang garis pantai mencapai 85 kilometer, Jepara punya positioning strategis. Tak hanya dekat dengan Pulau Karimunjawa yang menjadi ikon pariwisata bahari kelas dunia, Jepara juga terletak di jalur tengah maritim Indonesia yang dapat menjangkau Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua secara langsung. Ini adalah potensi bisnis pelayaran ekspor domestik dan internasional yang bisa dioptimalkan.
Namun demikian, pelabuhan bukan hanya soal lokasi. Ia adalah ekosistem. Mulai dari kedalaman laut, akses jalan, konektivitas industri hinterland, hingga dukungan digitalisasi pelabuhan dan ekosistem logistik. Jika Kalingga Industrial Zone dihidupkan kembali, pelabuhan Jepara harus dirancang bukan sebagai entitas terpisah, tapi sebagai nadi dari kawasan industri maritim berorientasi ekspor.
Pelabuhan yang hebat bukan sekadar dermaga panjang, tapi ekosistem maritim yang hidup, hijau, dan berpihak pada masa depan bumi dan generasi mendatang.
Lebih dari itu, mengingat hari ini adalah Hari Bumi, penting kiranya kita bicara pelabuhan dalam kerangka green port. Pelabuhan Jepara bisa dirancang menjadi pelabuhan hijau: menggunakan energi surya, sistem manajemen limbah tertutup, elektrifikasi alat berat, dan sistem digitalisasi logistik tanpa kertas. Bahkan, dermaga apung berbasis bioekologi bisa menjadi pelengkap infrastruktur dengan tetap menjaga habitat laut.
Sebagai perbandingan, pelabuhan modern dunia seperti Port of Rotterdam dan Port of Los Angeles telah lebih dulu menata diri menjadi pelabuhan ramah lingkungan. Indonesia tidak perlu menunggu. Jepara bisa menjadi pilot project nasional pelabuhan hijau, apalagi mengingat garis pantai Jepara didominasi pesisir landai dan ekosistem mangrove, yang seharusnya bukan dirusak melainkan dijadikan buffer alami dalam sistem tata ruang pelabuhan.
Peluang Jepara sebagai pelabuhan internasional juga terletak pada kekuatannya di sektor UMKM, mebel, dan pariwisata. Sebuah pelabuhan yang memfasilitasi ekspor furnitur dan wisata bahari bisa menciptakan ekosistem logistik yang unik, tak seperti pelabuhan konvensional yang hanya fokus pada kontainer barang industri berat.
Tapi jangan lupa bahwa pendalaman laut (dredging), reklamasi, dan aktivitas konstruksi bisa merusak ekosistem laut jika tak dikontrol. Oleh karena itu, sejak tahap desain awal, Pelabuhan Jepara wajib melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), audit karbon, serta keterlibatan masyarakat pesisir dalam proses perencanaan. Ini bukan hanya syarat regulatif, tapi amanat moral pembangunan biru (blue economy).
Jepara tak hanya membangun pelabuhan, tapi merancang masa depan maritim yang cerdas, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.Â
Jepara memiliki keunggulan dibanding Kendal dalam hal historisitas pelayaran dan warisan maritim. Sebagai tanah kelahiran Ratu Kalinyamat, pelabuhan Jepara pernah menjadi pusat ekspedisi laut Nusantara di abad ke-16. Menata ulang pelabuhan Jepara adalah menata ulang sejarah maritim Indonesia. Namun, sejarah harus bertemu inovasi. Maka, pelabuhan ini harus mengadopsi sistem port community system berbasis cloud yang mengintegrasikan bea cukai, logistik, dan pelayaran secara real time.
Selain itu, jangan sampai kesalahan Kendal terulang, yaitu kesalahan terlalu percaya bahwa kehadiran kawasan industri otomatis menciptakan kebutuhan pelabuhan. Justru sebaliknya, pelabuhan yang efisien akan menarik investasi industri baru. Maka, desain Pelabuhan Jepara harus berbasis potensi kapal penyeberangan logistik, kapal ekspor furnitur, kapal wisata, dan kapal perintis.
Dengan menyambut Hari Bumi, semestinya Jepara tampil sebagai model pembangunan berkelanjutan. Tak hanya mengejar arus barang, tapi juga merawat arus kehidupan. Pelabuhan yang dibangun di atas prinsip harmoni dengan alam akan menjadi warisan bukan hanya untuk ekonomi, tapi untuk generasi mendatang yang berhak atas laut yang bersih dan produktif.
Saat dunia mulai memindahkan fokus dari "build big" ke "build smart", maka Pelabuhan Jepara tak boleh hanya menjadi "proyek mercusuar". Ia harus menjadi pelabuhan masa depan yang inklusif, hijau, dan berbasis komunitas. Jika ini terwujud, Jepara akan mencatatkan namanya sebagai pionir pelabuhan biru Indonesia. Sebuah pelabuhan yang bukan hanya menopang ekonomi, tapi juga menjaga bumi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI