Perseteruan antara mantan Presiden Donald Trump dengan Harvard University bukanlah sekadar perseteruan antara seorang tokoh politik dengan lembaga pendidikan. Ini adalah refleksi dari konflik yang lebih besar: tarik-menarik antara otoritarianisme negara dengan kemerdekaan akademik.Â
Ketika pemerintah mulai mengintervensi otonomi universitas melalui tekanan finansial dan kebijakan imigrasi, demokrasi dalam dunia akademik terancam.
Akar dari konflik ini bermula dari keputusan Harvard untuk tidak menyerahkan informasi mahasiswa internasional pemegang visa, yang diduga terlibat dalam demonstrasi pro-Palestina dan anti-Israel.Â
Pemerintahan Trump menilai hal ini sebagai pelanggaran terhadap semangat kebangsaan, sementara Harvard mempertahankannya sebagai bentuk perlindungan atas kebebasan sipil dan hak berpendapat.
Dalam respons yang mengagetkan banyak kalangan, Kristi Noem yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, mengumumkan penghentian dua hibah federal kepada Harvard senilai lebih dari USD 2,7 juta. Tujuannya jelas, untuk memberikan tekanan agar universitas menyerah pada tuntutan federal. Namun Harvard tidak gentar.
Ketika kampus dipaksa bungkam demi kekuasaan, maka Harvard memilih bersuara demi kebenaran. Dana bisa diputus, tapi prinsip tak bisa dibeli.
Perlu dicatat bahwa Harvard, dengan dana abadi (endowment) senilai USD 53,2 miliar, memiliki posisi unik dalam lanskap pendidikan tinggi global. Ia bukan hanya kaya secara finansial, tapi juga kuat secara moral dan historis.Â
Sejak berdiri pada 8 September 1636, Harvard telah menjadi simbol dari kebebasan berpikir dan eksperimentasi intelektual yang menjadi roh demokrasi Amerika.
Langkah pemerintahan Trump ini tak bisa dilepaskan dari konteks politik nasional yang lebih luas. Dalam periode itu, terdapat gelombang nasionalisme populis yang memandang kampus-kampus elit sebagai sarang liberalisme dan kritik terhadap negara. Universitas, terutama Ivy League, dituduh memupuk radikalisme dan merusak nilai-nilai tradisional Amerika.
Padahal, dalam demokrasi yang sehat, universitas seharusnya menjadi ruang aman bagi keberagaman pikiran, perdebatan kritis, dan kebebasan berpendapat. Menjadikan kampus sebagai medan tempur ideologi negara bukan hanya berbahaya, tapi juga menghancurkan tatanan intelektual yang selama ini menopang peradaban modern.