Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cancel Culture: Antara Boikot, Kemanusiaan, dan Nilai Pancasila

10 Februari 2025   06:45 Diperbarui: 10 Februari 2025   06:08 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cancel culture beserta bentuk aksinya (Sumber: Kompas.com)

Fenomena cancel culture yang pada awalnya berkembang sebagai aksi boikot terhadap artis K-Pop kini telah meluas ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk di Indonesia. Konsep ini awalnya digunakan sebagai bentuk protes kolektif terhadap figur publik atau institusi yang dinilai melanggar nilai-nilai sosial tertentu. Namun, dalam perkembangannya, cancel culture tidak hanya menjadi alat kritik, tetapi juga senjata yang dapat dengan mudah digunakan untuk menggiring opini publik dan menjatuhkan seseorang atau suatu entitas.

Di Indonesia, cancel culture kini tidak hanya menyasar selebritas atau figur publik, tetapi juga merambah pada produk, brand, dan bahkan kebijakan tertentu. Dengan meningkatnya penggunaan media sosial, gerakan boikot menjadi lebih mudah terorganisir dan viral dalam waktu singkat. Ketika sebuah isu mencuat, masyarakat dengan cepat membentuk opini dan menyebarkan seruan boikot, baik terhadap individu maupun institusi yang dianggap melanggar nilai-nilai tertentu.

Sebagai contoh, beberapa figur publik Indonesia pernah mengalami boikot karena pernyataan yang dianggap kontroversial, baik terkait dengan isu gender, lingkungan, maupun politik. Reaksi semacam ini mencerminkan bagaimana masyarakat saat ini lebih kritis terhadap nilai-nilai yang mereka anut dan bagaimana teknologi digital memungkinkan penyebaran opini dalam skala luas.

Cancel Culture dan Misi Kemanusiaan

Jika ditelaah lebih dalam, cancel culture dapat memiliki dampak positif ketika dikaitkan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya, boikot terhadap individu atau institusi yang menunjukkan sikap pro LGBT, pro perang, mendukung pornografi, melakukan perundungan (bullying), terlibat dalam korupsi, atau menyebarkan budaya sosial yang toksik dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dalam hal ini, cancel culture dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial, di mana masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam memastikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tetap ditegakkan. Gerakan ini dapat menjadi instrumen perubahan sosial yang mendorong pertanggungjawaban moral dan etika dari individu maupun institusi yang memiliki pengaruh besar di ruang publik.

Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, Indonesia perlu menempatkan cancel culture dalam perspektif yang lebih konstruktif. Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara dapat berfungsi sebagai filter dalam menyaring sejauh mana sebuah gerakan boikot memiliki dasar yang kuat atau hanya sekadar aksi impulsif berbasis emosi sesaat.

  • Ketuhanan Yang Maha Esa: Boikot atau kritik seharusnya dilakukan dengan menjunjung tinggi moralitas dan tidak mencederai nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh masyarakat.
  • Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Aksi boikot perlu berlandaskan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan sekadar ajang penghukuman sosial tanpa ruang klarifikasi.
  • Persatuan Indonesia: Jangan sampai cancel culture justru memecah belah bangsa, melainkan harus menjadi alat pemersatu dalam memperjuangkan kebaikan bersama.
  • Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: Setiap bentuk kritik dan boikot sebaiknya melalui diskusi yang matang dan tidak dilakukan secara sepihak tanpa bukti yang kuat.
  • Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Cancel culture harus menjadi medium untuk menegakkan keadilan sosial, bukan sekadar ajang balas dendam atau kepentingan kelompok tertentu.

Fenomena cancel culture tidak bisa dihindari, tetapi bisa diarahkan agar lebih bermanfaat bagi masyarakat. Penggunaan media sosial yang lebih bertanggung jawab dan edukasi tentang literasi digital menjadi kunci dalam memastikan bahwa gerakan ini tidak merugikan pihak yang tidak bersalah. Selain itu, penting untuk membuka ruang diskusi dan refleksi agar setiap aksi boikot benar-benar didasarkan pada prinsip keadilan dan kemanusiaan.

Indonesia memiliki kearifan lokal yang kaya dalam menyelesaikan konflik dan perbedaan pendapat, seperti musyawarah dan gotong royong. Jika nilai-nilai ini bisa dikombinasikan dengan semangat kritis dari cancel culture, maka gerakan ini dapat menjadi lebih bermakna dan tidak hanya sebatas hukuman sosial, tetapi juga sebagai jalan menuju perubahan yang lebih baik.

Dengan menempatkan Pancasila sebagai filter utama, kita dapat mengantisipasi ekses negatif dari cancel culture sekaligus memanfaatkannya untuk membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan bermartabat. Cancel culture dapat menjadi alat perubahan sosial yang kuat, asalkan digunakan dengan kebijaksanaan, menjunjung nilai kemanusiaan, dan berlandaskan prinsip keadilan. Dengan Pancasila sebagai kompas moral, kita bisa mengubah kritik menjadi solusi, perpecahan menjadi persatuan, dan boikot menjadi gerakan menuju masyarakat yang lebih adil dan bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun