Mohon tunggu...
Rumah Literasi
Rumah Literasi Mohon Tunggu... Rakyat Pergerakan

Belajar dari semua dimensi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Rasa Otoriter

18 September 2025   14:17 Diperbarui: 18 September 2025   14:23 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rail fauzan (Koordinator Pengembangan SDM PMII Kutim

Kondisi psikologi masyarakat Indonesia yang terbentuk akibat sistem feodalisme dan penjajahan lama merupakan sebuah trauma yang masih tersimpan di benak rakyat Indonesia, yang juga membawa dampak pada kepemimpinan di negeri ini. Hingga tirai antara rakyat biasa dengan bangsawan atau pejabat masih terus bersemayam dalam tubuh demokrasi Indonesia. Contohnya adalah jarak antara rakyat dengan DPR dan pemerintah yang sering kali lebih memprioritaskan kepentingan pribadi atau partai daripada kepentingan rakyat dengan mengatas namakan demokrasi dan kepentingan rakyat.

Dalam sistem demokrasi, kedaulatan rakyat seharusnya menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi atau dalam segala bidang pemerintahan. Namun, yang terjadi adalah justru sebaliknya, banyak kebijakan yang dibuat hanya untuk kepentingan pribadi yang menguntungkan kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan rakyat banyak. Ini bisa dilihat dari berbagai kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan pejabat tinggi dan korporat.

Beberapa masalah yang masih terjadi dalam demokrasi Indonesia saat ini adalah:

  • Jarak antara rakyat dan pejabat: Pejabat yang lebih memprioritaskan kepentingan pribadi atau partai daripada rakyat. Pejabat yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, malah lebih memprioritaskan kepentingan pribadi atau partai, sehingga mengabaikan aspirasi dan kebutuhan rakyat yang mereka wakili dan memilih mereka untuk mewakilinya. Ini adalah fenomena yang sangat memprihatinkan dan menunjukkan bahwa demokrasi kita masih jauh dari kata ideal, maupun dalam pengertian esensialnya. Yang pada dasarnya diciptakan, disetujui dan disepakati bersama untuk menghapuskan pertentangan, perselisihan dan perpecahan dalam bernegara. Bahwa atas nama kebangsaan dan kedaulatanlah hingga segala perbedaan kelompok, suku, budaya, bahasa dan agama dapat di satukan dalam sebuah negara. Namun, Ketika para pemangku kebijakan lebih memikirkan kepentingan pribadi dan partainya untuk mempertahankan kekuasaan kelompok tertentu, ini sama halnya mencederai demokrasi secara terang-terangan dengan mengatas namakan rakyat. Tentu dalam pandangan umum, Mereka lebih seperti penguasa yang otoriter, daripada pelayan rakyat yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat. Bahwa hari-hari ini kita sering dipertontonkan gaya-gaya hedonis dari para pejabat disela banyaknya rakyat yang kelaparan tentu situasi tersebut dapat kita bandingkan dengan para pejabat di jaman kepemimpinan Suharto. Situasi dan kondisi tersebut,  tentu menjadi ancaman untuk masa depan dan kemajuan negara, hal ini membutuhkan keinsafan politik bagi kita dalam memilih pejabat yang memiliki integritas dan komitmen yang kuat untuk melayani rakyat. Kita harus memastikan bahwa pejabat yang dipilih adalah orang-orang yang benar-benar peduli dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat, bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau partai.
  • Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan

Selain tirai antara pejabat dan rakyat, kita juga di pertontonkan banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan korporat, yang semakin memperjelas bahwa mereka yang selalu menyerukan janji-janji politik lima tahunan itu tidak dapat dipercaya. Hal ini menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin mengalami penurunan yang signifikan. Banyak pihak yang menilai bahwa pemerintah tidak lagi mampu mewakili aspirasi rakyat dengan baik, terutama karena seringnya munculnya kasus korupsi dan menutupi kekuasaan yang menggerogoti fondasi keutuhan pemerintahan. Skandal-skandal tersebut tidak hanya mencoreng nama baik institusi negara, tetapi juga menumbuhkan rasa skeptis yang mendalam di kalangan masyarakat.

Keadaan ini diperparah dengan rendahnya transparansi dalam pengelolaan keuangan negara dan proses pengambilan keputusan yang dianggap tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara memadai. Ketika informasi tentang kebijakan sulit diakses atau bahkan sengaja disembunyikan, masyarakat merasa hak mereka untuk menyebarkan pemerintahan diabaikan. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan serta menciptakan jarak yang semakin lebar antara pemerintah dan rakyat.

Dan sebagai sesorang yang yang bernegara yang memiliki kesadaran, tentu hal-hal terkecil pun wajib menjadi bahan evaluasi untuk pemangku kebijakan di negeri ini.




Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun