Mohon tunggu...
Muhammad Israq
Muhammad Israq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ejapi na nikana doang

Belajar sepanjang waktu !

Selanjutnya

Tutup

Book

Resensi Buku Islamisasi Kerajaan Gowa Karya Ahmad M Sewang

16 Januari 2023   23:43 Diperbarui: 16 Januari 2023   23:53 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Judul Buku : Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII)
Penulis : Prof. DR. Ahmad M. Sewang, M.A.
Tahun Terbit : 2005 (cetakan ke-2)
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
ISBN : 979-461-530-7

Buku Islamisasi Kerajaan Gowa karya Ahmad Sewang ini merupakan hasil penelitian disertasinya pada Program Pasca Sarjana IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku ini bercerita tentang kehidupan masyarakat Gowa pra-Islam; pasca masuk Islam; dan proses penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di Kerajaan Gowa. Buku ini terdiri dari empat bab.

Pada bab pertama, dikisahkan bahwa penyebaran agama Islam di Nusantara tidak berlangsung secara bersamaan. Di banding daerah lain, agama Islam agak terlambat tersebar di Sulawesi Selatan. Di bab ini juga dijelaskan bahwa agama Islam sudah ada pada masa pemerintahan Raja Gowa X (1546-1565), yakni Karaeng Tonipalangga. 

Pada masa pemerintahannya, sudah ditemukan sebuah perkampungan muslim di Makassar yang penduduknya merupakan para pedagang yang berasal dari Campa, Patani, Johor, dan Minangkabau. Kemudian pada masa pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Karaeng Tonijallo (1565-1590) telah didirikan masjid di Mangallekanna. Di bab ini juga dijelaskan bahwa penulis menggunakan lontara sebagai sumber primer penelitiannya. Adapun jenis lontara yang digunakan yaitu : Lontara bilang; Lontara pattorioloang; Lontara pattorioloanga ri to Talloka; Lontara latoa; dan lontara pattodiolongan di Mandar.

Selanjutnya pada bab kedua, diceritakan awal mula terbentuknya Kerajaan Gowa; kebudayaan dan kepercayaan yang berkembang di dalam kerajaan;  dan kedatangan bangsa asing.

A. Awal Mula terbentuknya Kerajaan Gowa


Dikisahkan bahwa sebelum Kerajaan Gowa terbentuk, telah terdapat  sembilan negeri, yakni : Tombolo; Lakiung; Saumata; Parang-parang; Data; Agang Je'ne; Bisei; Kalling; dan Sero. Di antara negeri tersebut sering terjadi perselisihan dan tidak jarang perselisihan tersebut diselesaikan dengan cara perang terbuka. 

Situasi tersebut dapat diperkecil saat sembilan negeri kecil tersebut mengangkat seorang pejabat yang dinamakan paccallaya. Paccalayya  menjabat sebagai ketua dewan di antara sembilan negeri tersebut. Selain itu, Paccalaya juga bertugas sebagai penegah, jika sewaktu-waktu terjadi perselisihan di antara sembilan negeri kecil tersebut. 

Akan tetapi dalam hal ini Paccallaya sebagai ketua dewan tidak memiliki wewenang dan power yang dapat memaksa sembilan negeri tersebut harus tunduk dan patuh pada perintahnya. Keadaan demikian membuat sembilan kerajaan kecil itu merasa tidak tenang dengan keadaan yang sedang mereka alami. Hal demikian berlangsung terus-menerus hingga To Manurung hadir menyatukan sembilan negeri kecil tersebut ke dalam satu kerajaan yang bernama Butta Gowa (Tanah/Kerajaan Gowa).

B. Kebudayaan dan Kepercayaan

Stratifikasi sosial pada masa tersebut sangat jelas antara keluarga kerajaan, pemuka agama, orang merdeka, dan hamba sahaya (Ata).
Bahasa yang digunakan pada masa tersebut adalah bahasa Makassar. Bahasa Makassar digunakan diberbagai kegiatan, yaitu: perdagangan, pertanian, pemerintahan, penyebaran agama, dan juga kesusastraan.

Sementara itu,perihal kepercayaan, kebanyakan masyarakat pada masa tersebut menganut paham animisme. Sederhanya, menurut Tylor, animisme merupakan pemujaan terhadap roh/benda keramat yang dianggap memiliki kekuatan magis. Tujuan kebanyakan masyarakat pada waktu itu memuja roh/benda keramat tersebut agar kehidupan mereka tidak diganggu. Mereka percaya, sama halnya kehidupan yang kita alami, para roh/benda keramat itu juga menjalani kehidupan  di alam lain.

C.Kedatangan Bangsa Asing

Bangsa asing yang dimaksud adalah bangsa Potugis dan bangsa Belanda. Tujuan utama kedatangan bangsa Portugis ke Sulawesi Selatan  adalah untuk mencari rempah, akan tetapi setelah mereka telah lama menetap, mereka kemudian melancarkan misi lainnya yaitu menyebarkan agama Kristen Katolik. Tercatat, Raja Suppa; Raja Bacukiki; dan Raja Siang pada masa itu telah berhasil dibaptis. 

Keadaan tersebut memicu para pedagang Melayu untuk segera mengundang tiga mubalig dari Koto Tangah Minangkabau agar datang ke Makassar untuk mengislamkan Raja dan masyarakat Kerajaan Gowa-Tallo.

Di sisi lain, maksud dan tujuan utama kedatangan bangsa Belanda di Sulawesi Selatan semata-mata untuk  memonopoli perdangangan rempah-rempah.

Kemudian pada bab ketiga mulai dikisahkan inti dari buku ini, yaitu bagaimana awal mula perkenalan, penerimaan hingga penyebaran agama Islam sebagai agama resmi kerajaan.

Sudah dibahas sebelumnya, bahwa pada masa Raja Gowa ke-X telah terdapat sebuah perkampungan muslim di Makassar. Kedatangan Islam di Makassar dibawa oleh pedagang Melayu (yang dimaksud Melayu saat itu bukan hanya Riau dan Semenanjung Malaka, tetapi seluruh pulau Sumatera), sehingga Datuk ri Bandang yang datang dari Koto Tangah, Minangkabau disebut sebagai orang Melayu.

Abdul Makmur, Khatib Tunggal, atau yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang datang ke Sulawesi Selatan bersama dua rekannya, yaitu Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang dan Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Tiro.

Mereka datang ke Sulawesi Selatan dengan misi menyebarkan agama Islam. Setelah mereka sampai di Makassar, mereka tidak langsung berdakwah, namun hal yang pertama mereka lakukan adalah menyusun strategi dakwah. Langkah awal yang dilakukan oleh ketiga mubalig tersebut adalah pergi ke Luwu untuk mengislamkan penguasanya yang bergelar Sultan Muhammad Waliy Muzahir al-Din. Setelah Datu Luwu tersebut masuk agama Islam, ketiga mubalig tersebut meminta bantuannya agar mereka dibantu menyebarkan agama Islam. Namun, Datu Luwu tersebut mengatakan yang ada di Luwu hanya kemuliaan, kekuatan ada di Gowa. Maka ketiga mubalig tersebut membagi tugas.

-Datuk ri Bandang yang dikenal sebagai ahli fikih bertugas untuk menghadapi masyarakat Gowa-Tallo yang masih menekuni tradisi lama seperti judi, sabung ayam, minum tuak (ballo). Dalam dakwahnya, Datuk ri Bandang lebih menekankan pada pelaksaan hukum syariat.

-Datuk Patimang bertugas di Kerajaan Luwu yang masyarakatnya juga masih berpegang pada tradisi lama, yakni menerapkan konsep Dewata Seuwae. Dalam dakwahnya, Datuk Patimang lebih menekankan pada ajaran Tauhid.

-Datuk Ri Tiro bertugas di daerah Tiro, dan menekankan metode tasawuf pada masyarakat tersebut. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu masyarakat di daerah tersebut masih berpegang teguh pada masalah kebatinan dan sihir (doti).

Proses penerimaan agama Islam di Kerajaan Gowa dilakukan secara top-down. Artinya, raja terlebih dahulu menerima agama Islam, kemudian disosialisasikan kepada rakyatnya. Hal demikian tidak sulit, mengingat pada masa dahulu kebanyakan masyarakat menganggap bahwa raja adalah wakil Tuhan di muka bumi.

Dalam buku Islamisasi Kerajaan Gowa, raja yang pertama menerima agama Islam di Makassar adalah Raja Tallo yang bernama I Malingkang Daeng Manyonri Karaeng Katangka yang bergelar Sultan Abdullah Awwalul Islam dan kemudian diikuti keponakannya yang sekaligus Raja Gowa XIV, yaitu I Manrabia yang bergelar Sultan Alauddin. Mereka dibimbing oleh Datuk Ri Bandang untuk menerima agama Islam. Setelah Sultan Alauddin menerima agama Islam, maka agama Islam kemudian ditetapkan sebagai agama resmi Kerajaan Gowa.

Setelah agama Islam ditetapkan sebagai agama resmi Kerajaan Gowa. Sultan Alauddin kemudian mulai menyebarkan agama Islam ke seantero Sulawesi Selatan. Metodenya pun beragam. Penyebaran Islam dilakukan secara damai terjadi pada Kerajaan Sawitto, Kerajaan Balanipa Mandar, Kerajaan Bantaeng, Kerajaan Selayar, dsb. Sementara itu, penyebaran Islam melalui peperangan dilakukan Kerajaan Gowa terhadap persekutuan Tellumpoccoe (Bone, Soppeng, Wajo). 

Awal mulanya Kerajaan Gowa mengingatkan mereka tentang perjanjian yang terlebih dahulu mereka buat yaitu siapa yang telah menemukan kebenaran, maka ia harus menyampaikannya ke yang lain. Akan tetapi penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa dianggap sebagai alat politik untuk mendeklarasikan dominasi Kerajaan Gowa terhadap kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan oleh persekutuan Tellumpoccoe. Maka perang adalah alternatif lain Kerajaan Gowa menyebarkan agama Islam. Peristiwa ini kemudian di kenal sebagai peristiwa Musu Selleng atau Islamic Wars.

Di bab yang keempat, dijelaskan kehidupan pasca Islamisasi dan kehidupan sosial politik yang ada di Kerajaan Gowa. Sementara di bab lima  buku ini merupakan kesimpulan akhirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun