Mohon tunggu...
muhammad ikmal
muhammad ikmal Mohon Tunggu... Sosial budaya, Keuangan dan Perpajakan

Hobi: Menulis, Olahraga dan Membaca. Topik yang disukai: Sosial, Ekonomi, Keuangan, perpajakan dan Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sarjana Baru, Pengangguran Baru

4 Oktober 2025   21:38 Diperbarui: 4 Oktober 2025   21:38 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat waktu ikut wisuda teman dekat di kampus negeri di Jakarta. Musik mengalun, semua orang tepuk tangan, toga dilempar, bahkan saya sempat ikut teriak "Hore!" padahal bukan saya yang lulus.

Dua bulan kemudian, saya ketemu dia lagi di warung kopi. Bedanya, kali ini wajahnya kusut. Katanya, "Bro, udah 27 lamaran gue kirim, belum ada yang balas." Saya cuma bisa diem. Itu bukan cerita di berita, itu nyata, saya dengar langsung.

Dan ternyata cerita kayak gitu bukan satu-dua. Data resmi malah bilang pengangguran sarjana lebih tinggi dari lulusan SMA/SMK. Aneh kan? Kita bayar kuliah mahal, bertahun-tahun belajar, tapi malah lebih susah cari kerja.

Pemerintah Punya Program, Tapi Rasanya...

Kalau saya buka media, pemerintah sering ngumumin program. Ada Kartu Prakerja, ada MBKM, ada pelatihan vokasi.
Di atas kertas, kedengarannya manis.

Tapi kenyataannya gimana?
Saya kenal sepupu yang ikut Kartu Prakerja. Dia bilang: "Lumayan sih, buat tambahan uang. Tapi kerja? Ya tetep harus usaha sendiri."
Vokasi juga banyak yang ketinggalan zaman. Kursusnya masih muter di software lama, padahal industri udah lari ke AI.
MBKM? Teman saya yang ikut magang bilang lebih sering disuruh entri data daripada belajar yang sesungguhnya.

Negara Lain Kok Bisa?

Saya pernah baca pengalaman seorang mahasiswa di Jerman. Kuliah setengah minggu, setengahnya lagi kerja di perusahaan otomotif. Digaji pula. Jadi pas lulus, dia udah punya pengalaman nyata.

Di Singapura, ada kawan saya yang ambil kursus singkat digital marketing. Dibiayai pemerintah. Selesai kursus, langsung dipakai buat kerja part-time.
Di Korea Selatan, teman online saya cerita kampusnya punya inkubator start-up. Mahasiswa dikasih ruang dan modal kecil buat coba usaha. Ada yang gagal, ada juga yang malah sukses.

Beda banget sama kita yang sering stop di seremoni atau sekadar sertifikat.

Kenapa Susah Berubah?

Saya rasa ada beberapa hal. Pertama, birokrasi. Revisi kurikulum di sini bisa makan waktu bertahun-tahun. Padahal industri berubah tiap bulan.
Kedua, budaya gelar. Orang tua saya sendiri masih sering bilang, "Yang penting S1 dulu, nanti gampang cari kerja." Padahal kenyataannya? Nggak semudah itu.
Ketiga, obsesi kerja aman. Hampir semua tetangga saya kalau ditanya cita-cita anaknya jawab: PNS atau BUMN. Itu dianggap puncak.

Kalau Mau Berubah

Menurut saya, ada hal-hal yang sebenarnya bisa dilakukan.

  • Kampus jangan cuma jadi pabrik ijazah, tapi tempat eksperimen. Kalau mahasiswa bikin usaha dan gagal, harusnya itu dianggap prestasi juga.
  • Seleksi kerja harus pakai tes skill nyata, bukan cuma hafalan.
  • Sistem belajar sambil kerja wajib diterapkan. Mahasiswa harus ngalamin langsung kerasnya industri.
  • Pemerintah bisa bikin platform resmi buat freelance atau proyek digital, jadi anak muda bisa nyari pengalaman tanpa nunggu lowongan formal.
  • Yang terakhir, kita harus belajar gagal. Dunia kerja jauh lebih keras daripada dunia kampus. Kalau di kampus aja nggak pernah salah, di dunia nyata bisa langsung mental.

Catatan Penulis

Saya menulis ini bukan karena benci kuliah, tapi karena saya lihat sendiri teman-teman yang frustasi setelah wisuda.

Wisuda memang momen penting, tapi jujur aja: toga itu bukan mahkota, ijazah juga bukan garansi.

Indonesia punya anak muda kreatif. Pertanyaannya tinggal: mau kita biarin mereka jadi penonton, atau kita kasih mereka ruang untuk nyetir masa depan sendiri?

Saya penasaran, menurut Anda pribadi: lebih penting mana buat anak muda sekarang, gelar atau skill?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun