Jangan Korbankan Gizi Anak Demi Proyek Ambisius!
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah ide brilian. Siapa yang tidak setuju bahwa anak-anak harus mendapat asupan gizi yang baik untuk tumbuh dan belajar? Di atas kertas, program ini adalah solusi yang tepat untuk mengatasi stunting dan ketimpangan gizi di Indonesia. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain.
Data yang ada begitu mencemaskan. Ribuan anak dilaporkan keracunan makanan. Ini bukan sekadar angka, melainkan cermin dari kegagalan sistem. Ini adalah bukti bahwa program sebesar ini tidak bisa dijalankan hanya bermodal semangat dan ambisi, tanpa persiapan matang di lapangan. Kita sedang mempertaruhkan kesehatan dan masa depan anak-anak kita.
Ketika Ide Brilian Bertemu Realitas Pahit
Masalah utama program MBG bukanlah pada konsepnya, melainkan pada eksekusinya. Program ini menghadapi tantangan logistik dan pengawasan yang luar biasa. Banyak pihak khawatir, seperti Dosen Kebijakan Kesehatan Dicky Budiman, yang menyoroti kurangnya rantai dingin (cold chain) dan sanitasi dalam proses distribusi. Makanan dimasak pada pagi hari, lalu didistribusikan ke sekolah-sekolah yang mungkin tidak memiliki fasilitas penyimpanan yang memadai, dan baru disajikan di siang hari. Ini menjadi resep yang sempurna untuk bencana.
Usulan dari DPR, seperti disampaikan oleh Charles Honoris, untuk mengganti program makanan langsung menjadi uang tunai (cash transfer) bukanlah tanpa alasan. Model ini lebih efisien dan meminimalkan risiko keracunan karena keluarga bertanggung jawab penuh atas makanan anak. Namun, pemerintah, melalui Mensesneg Prasetyo Hadi, tetap mempertahankan skema makanan langsung karena dianggap sebagai cara terbaik untuk memastikan anak-anak benar-benar mengonsumsi makanan yang bernutrisi. Kedua pendapat ini valid, namun kita harus mencari jalan tengah.
Solusi Humanis yang Berkelanjutan
Masyarakat, terutama orang tua, adalah kunci keberhasilan program ini. Mereka adalah pihak yang paling tahu kebutuhan anak-anak mereka. Daripada terjebak pada perdebatan antara makanan langsung dan uang tunai, mengapa kita tidak menggabungkan keduanya dalam sebuah skema hibrida yang lebih humanis dan fleksibel?
Berikut adalah beberapa usulan solusi yang dapat dipertimbangkan:
1. Model Bantuan Tunai Bersyarat dengan Dukungan Komunitas: Berikan bantuan uang tunai kepada keluarga, tetapi dengan syarat bahwa uang tersebut digunakan untuk membeli bahan pangan lokal. Program ini harus didukung dengan pendidikan gizi yang intensif dan pendampingan dari Puskesmas atau kader posyandu. Ini mirip dengan program Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah berjalan sukses, tetapi fokusnya khusus pada gizi anak.