Ini bukan lagi soal kenyamanan bayar pakai scan barcode. Ini adalah langkah strategis menuju kemandirian ekonomi digital. Sebuah langkah yang, secara langsung atau tidak langsung, mengikis dominasi jaringan pembayaran global yang mayoritas dikuasai AS.
Sebuah Provokasi Kedaulatan yang Tak Terhindarkan?
Apakah langkah Indonesia ini adalah "provokasi"? Bagi Washington, mungkin iya. Bagi kita, ini adalah hak kedaulatan. Sama seperti sebuah negara berhak menentukan benderanya, ia juga berhak menentukan bagaimana uang rakyatnya beredar di dalam negeri.
Pemerintah AS, melalui USTR, melihat GPN dan QRIS sebagai kebijakan yang berpotensi membatasi kemampuan perusahaan mereka untuk beroperasi dan bersaing secara bebas di pasar Indonesia. Mereka khawatir ini akan menciptakan "lingkungan yang tidak setara" atau bahkan "diskriminatif."
Tentu saja, mereka tidak akan terang-terangan mengatakan, "Kami tidak suka kalian mandiri!" Mereka akan membungkusnya dengan argumen-argumen manis tentang "pasar bebas," "persaingan yang adil," dan "kesetaraan akses."
Lalu, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Ini bukan perang. Ini adalah negosiasi. Indonesia, melalui Bank Indonesia, sudah tegas menyatakan bahwa QRIS adalah wujud kedaulatan ekonomi dan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya efisiensi sistem pembayaran nasional. Kita siap untuk terus berkolaborasi, tetapi dengan syarat: kesetaraan.
Mungkin ini saatnya bagi kita, sebagai bangsa, untuk lebih sadar. Bahwa di balik kemudahan transaksi digital, ada pertarungan kepentingan global yang sengit. Bahwa setiap scan QRIS yang kita lakukan, adalah wujud kecil dukungan kita terhadap kemandirian ekonomi bangsa.
Jadi, lain kali Anda mendengar "Donald Trump menentang QRIS," tersenyumlah. Ingatlah bahwa ini bukan tentang drama pribadi seorang mantan presiden. Ini tentang perjuangan Indonesia untuk berdiri tegak di panggung ekonomi digital global, di tengah gempuran kepentingan-kepentingan raksasa dunia.
Bukankah itu sebuah narasi yang jauh lebih menarik? Sebuah narasi yang layak menjadi Artikel Utama di Kompasiana, dan mungkin, pengingat bagi kita semua tentang pentingnya kedaulatan di era digital ini.