Dunia maya gempar. Berita berseliweran. "Donald Trump Menentang QRIS Indonesia!" demikian tajuk-tajuk bombastis yang berseliweran di linimasa Anda. Seolah-olah mantan presiden AS yang kontroversial itu secara pribadi terbang ke Jakarta, menggebrak meja Bank Indonesia, dan berteriak, "Hentikan QRIS!"
Tunggu dulu. Mari tarik napas dalam-dalam. Apakah benar ini ulah Donald Trump yang gila-gilaan? Atau ada agenda tersembunyi yang lebih besar di balik "kecemburuan" Dolar AS terhadap kemandirian Rupiah?
Bukan Trump, Tapi Si 'Bintang Kejora' dari Washington yang Mulai Duluan!
Mari luruskan. Yang meradang bukanlah Donald Trump secara personal, melainkan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR). Ya, lembaga "resmi" pemerintah AS ini, yang ibaratnya adalah penegak hukum ekonomi global bagi Amerika, telah secara terang-terangan menyoroti keberadaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dalam laporan tahunan mereka.
Laporan "National Trade Estimate" itu, yang biasanya hanya dibaca oleh para ekonom berdasi dan negosiator ulung, tiba-tiba menjadi sorotan publik. Mengapa? Karena di dalamnya, QRIS dan GPN dituding sebagai "hambatan perdagangan" dan "pembatasan akses pasar" bagi raksasa-raksasa pembayaran global macam Visa dan Mastercard.
Bayangkan! Dua raksasa yang selama ini mendominasi arus uang digital dunia, kini seolah terpojok di hadapan "anak baru" bernama QRIS. Ini bukan sekadar isu ekonomi, ini adalah perang narasi kedaulatan digital.
Apa yang Bikin Washington Ketar-Ketir?
Jawabannya sederhana: Duit.
Selama ini, setiap kali Anda menggesek kartu kredit atau debit berlogo asing, sebagian kecil dari nilai transaksi itu 'terbang' keluar negeri sebagai biaya transaksi. Bayangkan miliaran transaksi setiap hari di seluruh Indonesia. Berapa triliun Rupiah yang "bocor" keluar setiap tahunnya? Ini adalah kue raksasa yang selama ini dinikmati oleh jaringan pembayaran asing.
Nah, ketika Bank Indonesia dengan gagah perkasa meluncurkan GPN dan kemudian QRIS, tujuannya jelas: mendigitalisasi transaksi domestik di dalam negeri. Membuat aliran uang Rupiah berputar di "rumah sendiri". Memangkas biaya. Mempersingkat jalur. Dan yang terpenting, mengurangi ketergantungan pada jaringan luar negeri.