Di Senegal, dominasi tasawuf dalam ranah sosial-politik menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar fenomena keagamaan. Tarekat-tarekat besar, termasuk Muridiyya, Tijaniyya, dan Qadiriyya, memiliki peranan penting dalam menjaga stabilitas negara. Para Marabout (pemimpin tarekat) memiliki otoritas moral yang kuat, sehingga pemerintah sering menjalin hubungan simbiotik dengan mereka untuk memastikan stabilitas sosial dan politik. Model ini menjadikan Senegal sebagai negara dengan sistem pemerintahan yang relatif stabil, moderat, dan berbasis nilai spiritual sufistik (Babou, C.A., 2013; Seck, A., 2023).
- Keterkaitannya dengan Indonesia
Pengalaman Maroko, Turki Utsmani, dan Senegal, menunjukkan keberhasilan dalam mengintegrasikan nilai-nilai tasawuf dalam ideologi negara, sehingga terwujud wajah islam yang moderat, damai, dan inklusif. Dengan demikian, ketiga negara ini menawarkan model bagaimana spiritualitas dapat dijadikan dasar pembangunan masyarakat yang inklusif, beradab, dan harmonis.
Selain itu, pada era Nusantara (sebelum lahirnya negara Indonesia) jejak sufisme dan pengetahuan makrifat telah tertanam dalam kebudayaan Jawa, Bugis, dan Buton. Konsep tirakat, riyādah, dan laku spiritual Kejawen maupun Buton merupakan bentuk disiplin sufistik yang berfungsi membentuk pribadi pemimpin yang arif dan masyarakat yang berakhlak. Di Jawa dikenal puasa mutih atau ngrowot (Shasangka, 2014; Rohmadi, S., 2023), sementara di Buton dikenal tradisi kabanti (Kabanti, n.d.) dan laku spiritual lain yang memperkuat karakter. Semua ini menunjukkan bahwa sufisme lokal Nusantara memiliki potensi sebagai basis moral dalam mendukung nilai-nilai kebangsaan. Bagi Indonesia, hal ini menjadi cermin berharga bahwa penguatan Pancasila dapat diperkokoh melalui dimensi sufistik, sehingga Pancasila benar-benar hidup sebagai ideologi kebangsaan yang adil, damai, dan bermartabat.
- Relevansi dan Tantangan
Integrasi tasawuf dan Pancasila memperkaya makna ideologi bangsa, namun sejumlah tantangan hadir. Secara internal: tasawuf kerap direduksi menjadi kesalehan individual, sementara degradasi moral dan korupsi memperlemah nilai kebangsaan. Sedangkan secara eksternal: globalisasi, materialisme, dan politik identitas berpotensi mengikis nilai spiritual. Khusus pada sila kedua, tantangan nyata adalah praktik penyalahgunaan kebijakan publik. Program sosial seringkali dikorupsi, sehingga tidak sampai pada rakyat miskin.
Tasawuf menawarkan solusi melalui penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dibawah bimbingan mursyid atau guru sejati. Perjalanan panjang bersama seorang pembimbing spiritual atau mursyid dapat mengikis keserakahan dan menumbuhkan integritas moral (Imam al-Ghazali, 2009; Nizami, 2014). Sufisme berperan sebagai landasan utama masyarakat dan menjaga moralitas agar kelompok-kelompok yang paling terpinggirkan dapat merasakan keadilan sosial. (Hamka, 1951).
- Peran dan Kriteria Mursyid dalam Implementasi Tasawuf
Mursyid dalam istilah tasawuf, atau dalam komunitas sebuah tarekat, adalah seorang guru yang membimbing para murid tarekat. Sedangkan tarekat, adalah sebuah komunitas kecil yang menjalankan syariat Islam dengan ciri khas yaitu pemberian dan pengamalan ilmu dari seorang mursyid, dimana ilmu tersebut diklaim memiliki referensi dari guru-guru sebelumnya. Keilmuan dan pengangkatan mursyid tersebut ditulis dalam suatu silsilah, dimana silsilah tersebut bermuara pada guru pertama umat Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Seorang mursyid memiliki karakter utama (Kasmar dkk., 2019):
- bersanad ruhani dan ilmiah;
- kāmil-mukammil, menyempurnakan diri dan orang lain;
- teladan akhlak;
- integratif lahir dan batin; dan
- berperan sosial.
Istilah mursyid ini memiliki kemiripan dengan seorang Arahat dalam agama Budha, atau seorang Resi dalam agama Hindu, dimana ia memiliki hakikat yang sama yaitu seseorang yang telah mencapai keparipurnaan dalam bimbingan guru sebelumnya, sehingga dapat melanjutkan estafet keilmuan dalam membimbing umatnya.
Dalam konteks kebangsaan, peran mursyid dapat menjadi kunci pembinaan pemimpin berintegritas, sehingga implementasi Pancasila dapat berjalan dengan adil dan bermartabat (Ahmadi & Hefni, 2019; Kasmar dkk., 2019). Ketika seorang mursyid tidak ditemukan, syariat Islam tetap menganjurkan untuk melakukan pembersihan diri dengan berpegang pada teks kitab-kitab fikih muktabar (populer), contoh: berzikir, berdoa, melakukan muhasabah (perenungan), bergaul dalam lingkungan yang menumbuhkan kesadaran, dan lain-lain.
Dalam kenyataan modern, pembersihan diri di atas, juga seringkali sulit dijangkau dengan berbagai alasan. Dalam kondisi demikian, tasawuf masih membuka jalan alternatif melalui riyādah, yaitu disiplin spiritual yang dilakukan secara mandiri. Riyādah ini jika ditelusuri merupakan suatu istilah dalam ilmu makrifat yang memiliki kesamaan dengan tirakat (Shasangka, 2014). Dalam praktiknya, terdapat istilah riyādah intensif yaitu berupa latihan mental-spiritual mendalam. Praktik ini bersifat universal, sehingga dapat diterapkan oleh siapa pun, termasuk penganut agama atau budaya lain, sebagai upaya penyucian batin dan penguatan karakter.
Berbagai bentuk riyādah dapat ditemui, baik dalam tasawuf klasik maupun tradisi lokal Nusantara. Teknik yang lazim dipraktikkan antara lain: olah napas (Muhsin S.B.S. dkk., 2023) sebagai bentuk mindfulness atau meditasi batin, puasa yang ada dalam syariat seperti puasa Daud, puasa Senin dan Kamis, atau puasa mutih, serta puasa hakikat yang ditemukan dalam tradisi Kejawen, Bugis, dan Buton. Dalam teks Induk Ilmu Kejawen karya Damar Shasangka (2014), dijelaskan sebuah contoh, bahwa puasa pantang memakan daging efektif mengikis nafsu amarah dan sifat buruk lain. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian fisik melalui riyādah berfungsi sebagai sarana penyucian batin.
Bagi masyarakat luas, khususnya pemimpin bangsa, riyādah berfungsi bukan sekadar laku spiritual pribadi, melainkan juga sarana membentuk karakter kuat, kejujuran, dan kepemimpinan yang efektif. Sebagaimana mursyid menuntun murid untuk kembali menuju Tuhan, riyādah dapat ditempuh oleh siapa saja dari agama dan tradisi manapun untuk mengikis keserakahan, mengendalikan hawa nafsu atau ego, dan menanamkan nilai-nilai keadilan sosial. Dengan demikian, baik melalui bimbingan mursyid maupun disiplin riyādah, tasawuf menjadikan benteng moral yang relevan bagi implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Kesimpulan