Fenomena Aktivisme Gen ZÂ yang merebak lintas negara beberapa waktu terakhir memang terasa berbeda dari pola pergerakan generasi sebelumnya. Inklusivitas menjadi kata kunci yang menandai perbedaan itu: gerakan mereka tidak lagi menutup diri dalam lingkaran ideologis sempit, melainkan membuka ruang bagi siapa pun yang merasa peduli terhadap suatu isu, tak peduli dari latar belakang, gender, atau bahkan batas negara.
Inklusivitas
Gen Z telah menciptakan model aktivisme yang merobohkan sekat-sekat konvensional. Jika generasi sebelumnya masih terjebak dalam dikotomi kiri-kanan, religius-sekuler, atau nasionalis-kosmopolitan, mereka justru mengaburkan batas-batas itu. Gerakan mereka bersifat interseksional—menggabungkan isu lingkungan dengan keadilan sosial, hak perempuan dengan reforma agraria, transparansi pemerintahan dengan anti-korupsi.
Yang mengejutkan, mereka berhasil menciptakan "rumah bersama" bagi berbagai kelompok yang sebelumnya sulit bersatu. Dalam aksi di Indonesia, kita melihat mahasiswa dari universitas negeri berdampingan dengan aktivis dari berbagai macam kampus , bahkan ada dukungan dari diaspora Indonesia di luar negeri melalui media sosial.
Media Sosial: Ruang Publik yang Sesungguhnya
Berbeda dari generasi milenial yang masih mengandalkan struktur organisasi formal, Gen Z justru membangun kekuatan melalui jaringan digital yang organik. Twitter menjadi ruang konsolidasi, Instagram sebagai medium kampanye kreatif, dan TikTok untuk menjangkau massa yang lebih luas. Mereka tidak hanya memproduksi konten, tetapi juga menciptakan narasi tandingan yang dapat mengimbangi dominasi media mainstream.
Yang lebih penting, mereka berhasil mentransformasi media sosial dari sekadar ruang hiburan. Hashtag bukanlah sekadar tanda pagar, melainkan alat mobilisasi lintas batas yang dapat menghubungkan gerakan lokal dengan solidaritas global dalam hitungan jam.
Tantangan
Fenomena ini menimbulkan kegelisahan bagi berbagai pihak, terutama generasi yang lebih senior. Para orang tua khawatir anaknya terlibat dalam aktivitas yang dianggap "berbahaya". Sementara akademisi masih bertanya-tanya: apakah ini gerakan yang legitimate atau sekadar euphoria sesaat?
Kekhawatiran itu sebetulnya dapat dipahami. Gen Z memang bergerak dengan cara yang tidak konvensional. Mereka tidak menghormati hierarki yang sudah mapan, Â dan seringkali mengabaikan "etika" berorganisasi versi lama. Namun, justru di situlah kekuatan mereka: kemampuan untuk berpikir di luar kotak dan menciptakan solusi yang tidak terduga.
Paradigma Baru atau Sekadar Tren?