Selama menjadi dosen, Irfan Sanusi melihat mahasiswa sebagai mitra dan membuka ruang diskusi terbuka. Jika mahasiswa memiliki pendapat yang berbeda yang didasari sumber dan logika yang jelas, ia akan menerima pendapat tersebut. Ia menyebut kurikulum berbasis cinta sebagai bentuk yang lebih manusiawi, alih-alih bentuk feodalisme dalam pendidikan yang menurutnya tidak Islami, karena Islam sendiri tidak mengajarkan kasta. Semua manusia sama dan memiliki kekurangan. Bentuk kesempurnaan pada manusia adalah adanya kekurangan itu sendiri.
Menutup pandangannya, Irfan juga mengkritisi perbedaan kultur pendidikan di Indonesia dan di luar negeri. Ia mempertanyakan, "Lebih maju pendidikan Indonesia atau di luar negeri?" Menurutnya, Islam hari ini harus jauh lebih baik, dan besok harus lebih baik dari hari ini. Ia khawatir jika budaya lokal selalu dikedepankan, kemajuan akan terhambat. Irfan menyarankan perlunya bercermin pada negara yang berhasil, seperti Singapura yang sukses di bidang keuangan dan teknologi. Pendidikan Indonesia (khususnya di pesantren) harus lebih dinamis dan up to date agar agama Islam tidak ditinggalkan. Budaya yang baik harus memiliki indikator keberhasilan yang jelas. Pendidikan Indonesia seharusnya lebih konstruktif dan visioner ke depan. Mengutip sebuah prinsip filsafat ilmu, Irfan berpesan, "Jangan coba-coba pernah mengajarkan kepada anak Anda, apa yang orang tua Anda ajarkan kepada Anda." Ia menilai cara lama sudah usang, dan adaptasi dibutuhkan agar bisa bersaing.
Sebagai solusi bagi orang yang fanatik terhadap pendapatnya masing-masing, Irfan menyarankan diskusi dengan mencari kesepakatan bersama. Pihak pro tidak boleh menolak kritikan dan harus mengevaluasi diri agar Pendidikan pesantren Indonesia lebih maju, serta tidak cepat mengkafirkan orang lain. Sementara itu, pihak kontra harus memahami sistem disiplin pondok. Pihak kontra juga perlu berhusnuzan, "Oh, memang iya, sistem disiplin di pondok pesantren, membuat lulusan pondok lebih sopan." Pihak kontra, apalagi yang belum pernah mondok, harus menahan diri agar tidak mudah terpancing dan cepat berkomentar buruk (hanya berdasarkan cuplikan video). Irfan khawatir saling menyalahkan hanya akan memecah umat, padahal seharusnya sama-sama menyelesaikan masalah dan lebih berjiwa besar, sebagaimana Nabi Muhammad dengan rendah hati menolak ditawari untuk sebuah gunung di lempar ke penduduk Thaif setelah mereka menghina dan melempari batu kepada Nabi Muhammad. Terakhir, ia mengingatkan bahwa ilmu sosial akan selalu ada perbedaan, sehingga tidak akan pernah bisa memaksakan suatu pendapat, dan masalah lokal di suatu daerah tidak boleh digeneralisasi menjadi masalah nasional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI