Mohon tunggu...
muhammad farel
muhammad farel Mohon Tunggu... mahasiswa

mahasiswa perikanan yang senang mengeluarkan pemikiran dan renungan renungan tentang perikanan dan sosial ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Garam Murah Petani Menjerit: Saatnya Pemerintah Tetapkan HPP

13 Juni 2025   08:00 Diperbarui: 15 Juni 2025   16:52 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di balik sepiring makanan yang kita nikmati, ada butiran garam yang tampak sepele namun memiliki cerita panjang dan getir. Khususnya bagi para petani garam lokal di Indonesia, yang hingga kini masih berjuang di tengah panas terik dan ketidakpastian harga. Ironisnya, meski garam merupakan komoditas strategis, hingga kini belum ada Harga Pokok Produksi (HPP) yang jelas untuk garam lokal. Akibatnya? Harga di tingkat petani kerap jatuh tak masuk akal, bahkan di bawah Rp1,000 per kilogram.

Komoditas Strategis yang Terabaikan

Indonesia dikenal sebagai negara maritim, dengan garis pantai yang panjang dan potensi besar untuk produksi garam. Sentra-sentra seperti Madura, Indramayu, Cirebon, hingga Nusa Tenggara Timur menyimpan potensi luar biasa. Namun sayangnya, selama bertahun-tahun, nasib petani garam tidak pernah benar-benar membaik.

Tidak adanya HPP garam membuat harga ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar dan permainan tengkulak. Saat musim panen raya, harga garam anjlok. Saat stok menipis, justru garam impor didatangkan. Di tengah kondisi ini, petani garam lokal menjadi pihak yang paling dirugikan.

Ketika Tidak Ada Kepastian Harga

Ketidakhadiran HPP menyebabkan ketidakpastian dalam perencanaan dan keberlanjutan usaha garam rakyat. Petani tidak tahu berapa harga wajar dari produk mereka, dan tidak ada acuan yang bisa dijadikan dasar dalam bernegosiasi dengan pembeli. Bahkan dalam beberapa kasus, harga garam diambil dengan sistem "tawar-menawar sepihak", di mana petani hanya bisa pasrah.

Sebaliknya, negara-negara lain seperti India dan Australia yang menjadi eksportir garam ke Indonesia justru memberikan insentif dan perlindungan harga untuk produsen mereka. Ini membuat garam impor sering kali memiliki harga yang lebih murah dan stabil, meskipun kualitasnya tidak selalu lebih baik. Hasilnya? Garam lokal kalah saing di negeri sendiri.

Dampaknya Nyata dan Sistemik

  1. Petani Rugi dan Beralih Profesi: Banyak petani garam akhirnya menyerah. Mereka meninggalkan tambak dan beralih menjadi buruh kasar atau nelayan karena tidak mampu bertahan dari musim ke musim.

  2. Produksi Garam Tidak Konsisten: Tanpa insentif dan jaminan harga, produksi garam rakyat cenderung fluktuatif dan sulit diandalkan.

  3. Ketergantungan pada Garam Impor: Indonesia masih mengimpor jutaan ton garam setiap tahunnya, terutama untuk kebutuhan industri, karena dianggap lebih murah dan konsisten.

Saatnya Pemerintah Hadir: Tetapkan HPP Garam Sekarang!

Sudah saatnya pemerintah, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perdagangan, dan BPS, bersinergi untuk menetapkan HPP garam rakyat. Penetapan HPP harus didasarkan pada:

  • Biaya produksi riil, termasuk tenaga kerja, peralatan, dan pengolahan.

  • Margin keuntungan yang layak bagi petani.

  • Mekanisme distribusi dan intervensi harga saat panen raya.

HPP tidak hanya memberi kepastian harga, tetapi juga akan memperkuat ketahanan pangan nasional dan mendukung kemandirian industri dalam negeri.

Jangan Biarkan Garam Rakyat Menguap Begitu Saja

Petani garam adalah bagian dari wajah Indonesia maritim. Mereka layak mendapat kepastian, perlindungan, dan harga yang adil. Tanpa HPP, garam lokal akan terus berada di bawah bayang-bayang impor dan permainan pasar bebas.

Saatnya pemerintah hadir sepenuhnya, bukan hanya saat panen melimpah, tapi juga dalam bentuk kebijakan konkret: tetapkan HPP untuk garam lokal sekarang juga!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun