GAPKI mengkritik peraturan tersebut, dengan mengatakan hal itu mempersulit perusahaan besar untuk memperluas konsesi mereka. Asosiasi kelapa sawit mengatakan perluasan lahan adalah satu-satunya cara untuk memenuhi target produksi minyak sawit negara yang terus meningkat, dan dengan demikian batas tersebut harus dihapuskan.
Data dari TuK Indonesia menunjukkan bahwa 21 dari 25 grup kelapa sawit terbesar di Indonesia beroperasi melalui perusahaan induk yang tercatat di bursa. Akibatnya, perusahaan-perusahaan ini dapat melewati batas tersebut.
Marcellina Nuring Ardyarini, Direktur Kebijakan KPPU, mengatakan lima produsen minyak goreng terbesar di Indonesia juga memiliki konsesi kelapa sawit terbesar, jauh di atas batas 100.000 hektar.
Dia menolak menyebutkan nama perusahaan, tetapi sebuah studi tahun 2016 oleh KPK, mengidentifikasi beberapa kelompok perusahaan kelapa sawit yang menguasai konsesi besar di Indonesia.
Menurut kajian KPK, 19 kelompok memiliki total konsesi lebih dari 100.000 hektar.
Tiga grup teratas adalah Salim Ivomas Pratama, Sime Darby (Minamas) dan Astra Agro Lestari. Mereka mengontrol gabungan 946.000 hektar (2,34 juta acre) konsesi di Indonesia, menurut KPK---sebuah wilayah yang luasnya enam kali London.
Hasil akhir dari audit harus melihat perusahaan yang ditemukan melanggar hukum menghadapi konsekuensi hukum, kata Wiko Saputra, seorang peneliti kebijakan ekonomi di LSM lingkungan Auriga Nusantara. Pendeknya, audit akan sia-sia karena tidak ada efek jera bagi pelanggar hukum, ujarnya.
Mansuetus Darto, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), mengatakan dia meragukan bahwa tindakan penegakan hukum akan dihasilkan dari audit tersebut. Dia mencontohkan, Badan Pemeriksa Keuangan yang dikenal dengan BPK sudah melakukan audit terhadap industri sawit pada 2019 lalu.
Audit tersebut menemukan bahwa 81% perkebunan kelapa sawit di Indonesia beroperasi dengan melanggar berbagai peraturan, termasuk kelebihan ukuran, ketidakpatuhan terhadap standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), kegagalan untuk mengalokasikan lahan yang cukup untuk petani kecil, dan kurangnya izin HGU. mengoperasikan.
Darto mengatakan, sejak saat itu belum ada tindak lanjut yang jelas atas temuan BPK tersebut.
Edi dari TuK Indonesia mengatakan dia juga ragu tentang audit baru yang mengarah ke tindakan. Dia mencatat bahwa bahkan ketika perusahaan kelapa sawit dinyatakan bersalah di pengadilan kebakaran di konsesi mereka, mereka masih dapat menghindari tanggung jawab mereka untuk membayar kerusakan lingkungan.