Mohon tunggu...
Muhammad Fadhilah
Muhammad Fadhilah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Nama : Muhammad Fadhilah NIM : 55521120025 Mata Kuliah : Perpajakan Internasional dan Pemeriksaan Pajak Dosen : Prof. Dr. Apollo, Ak., M.Si. Program Studi Pascasarjana Magister Akuntansi Perpajakan Universitas Mercu Buana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

K13 _ Proses Auditing Sektor Usaha Perkebunan Sawit

15 Juni 2023   14:28 Diperbarui: 15 Juni 2023   14:38 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabbarakatuh

Kepada Pak Prof. Dr. Apollo, Ak., M.Si. yang saya hormati.

Berikut ini adalah jawaban saya terkait dengan kuis 13 tentang Kasus Sub-CPMK 4. Proses Auditing Sektor Usaha Perkebunan Sawit.

Gambar Soal
Gambar Soal
Gambar Soal
Gambar Soal
Gambar Soal
Gambar Soal
Gambar Soal
Gambar Soal
Gambar Soal
Gambar Soal
Gambar Soal
Gambar Soal

Analisis Proses Audit Sektor Perkebunan Sawit

Pemerintah Indonesia berencana untuk mengaudit semua perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di negara ini, dalam upaya untuk mengatasi kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng. Para ahli mengaitkan krisis ini dengan fakta bahwa industri minyak sawit negara didominasi oleh segelintir perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan ini memiliki konsesi yang besar, melebihi batas yang ditentukan oleh pemerintah, memungkinkan mereka menggunakan kekuatan yang sangat besar untuk mendikte harga, kebijakan, dan pasokan. Analis mengatakan audit harus mengatasi masalah kepemilikan tanah ini, serta masalah lain yang mengganggu industri, seperti kurangnya data dan transparansi yang jelas. Aktivis menyambut baik pengumuman pemerintah Indonesia untuk melakukan audit nasional terhadap semua perusahaan minyak sawit yang beroperasi di sini, sebagai tanggapan atas kekurangan minyak goreng yang melanda produsen minyak sawit terbesar dunia itu. Yang terjadi di industri minyak goreng sangat kotor, karena diisi oleh banyak oligarki. Banyak kebijakan untuk meningkatkan pasokan dan menurunkan harga merupakan tindakan sementara yang gagal mengatasi masalah mendasar di balik kekurangan yang telah berlangsung sejak Oktober tahun lalu. Langkah-langkah ini termasuk mewajibkan perusahaan untuk mengalokasikan 20% dari minyak sawit mentah (CPO) mereka untuk penggunaan domestik; pembatasan harga jual CPO; dan --- yang paling ekstrim --- melarang ekspor CPO. 

Namun larangan tersebut, yang akhirnya dicabut, tidak berhasil menurunkan harga CPO dan memperlancar pasokan, merujuk pada praktik kartel dalam industri tersebut, kata Ridho Pamungkas, Kepala Badan Pengawas Persaingan Usaha Pemerintah, KPPU, di Medan, Sumatera Utara. Di lapangan, [kami] menemukan bahwa harga minyak goreng masih [tidak berubah]," katanya saat konferensi pers online baru-baru ini. "[Dan] pencabutan larangan ekspor [seharusnya] mengakibatkan kenaikan harga tandan buah sawit segar dan CPO. Tapi [kedua harga] belum kembali ke harga mereka sebelum larangan ekspor. Menurut data Badan Pusat Statistik, BPS, harga minyak goreng curah hanya turun menjadi Rp18.220 ($1,26) per kilogram di bulan Mei, dari Rp18.980 ($1,31) per kg di bulan April. Sebaliknya, larangan ekspor merugikan petani kecil, karena mengakibatkan penurunan harga tandan buah sawit segar sebesar 58%, dari Rp3.814 menjadi Rp1.569 (26 menjadi 11 sen AS) per kilo.

Untuk mengatasi masalah ini, Presiden Joko Widodo baru-baru ini menugaskan Luhut Pandjaitan, menteri utama yang membidangi investasi, untuk sampai ke inti masalah. "Ketika presiden meminta saya untuk mengelola [soal] minyak goreng, orang berpikir itu hanya [soal] minyak goreng," katanya saat acara pada 25 Mei. "Tidak, saya akan langsung ke tingkat hulu [yaitu minyak kelapa sawit]. Semua [perusahaan] kelapa sawit harus diaudit oleh kami." Luhut mengatakan audit tersebut akan menjadi yang pertama dari jenisnya, dan akan meneliti semua aspek perusahaan kelapa sawit, termasuk izin, produksi, dan ukuran konsesi mereka.

Eddy Martono Rustamadji, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, GAPKI, mengatakan asosiasi mendukung rencana audit pemerintah.

"Dengan begitu, industri sawit bisa memiliki data yang lebih jelas dari hulu hingga hilir," ujarnya kepada media setempat. "Semua ini agar kebijakan yang lebih efektif dapat dibuat berdasarkan data yang lebih akurat."

Badan Perlindungan Konsumen Indonesia, BPKN, juga menyambut baik rencana pemerintah untuk mengaudit semua perusahaan kelapa sawit.

"Audit menyeluruh terhadap industri kelapa sawit akan mengungkap kebusukan industri kelapa sawit nasional yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara selama puluhan tahun," kata Kepala BPKN Rizal E. Halim kepada media setempat.

Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, sebuah LSM yang mengadvokasi keadilan sosial di sektor agribisnis, mengatakan audit harus komprehensif karena industri perkebunan di Indonesia penuh dengan penyimpangan yang melampaui kegagalan minyak goreng. Audit harus melihat operasi masing-masing perusahaan secara holistik daripada memeriksa sedikit demi sedikit

"Perlu ada audit yang komprehensif, baik secara kuantitatif maupun kualitatif," kata Edi. "Pengalaman kami dalam advokasi dan kajian, walaupun perusahaan memenuhi semua persyaratan administrasi, bukan berarti bayar pajak, bukan berarti tidak ada konflik dengan masyarakat, bukan berarti tidak ada dampak lingkungan. Jadi kami tidak bisa mengaudit izin mereka begitu saja; itu harus komprehensif."

Salah satu aspek industri kelapa sawit yang perlu diperhatikan pemerintah dalam audit tersebut adalah kepemilikan lahan, mengingat sejumlah kecil kelompok perkebunan telah mampu memperoleh lahan yang luas melalui akuisisi dan pembelian aset, menurut ketua KPPU Ukay Karyadi.

Hal ini memungkinkan mereka untuk memiliki kendali dominan atas industri dan mendikte kebijakan, katanya.

"Perkebunan rakyat dibeli oleh perusahaan menengah, misalnya. Dan kemudian ini dibeli oleh yang besar, "katanya saat konferensi pers baru-baru ini.

Ukay mengutip data KPPU yang menunjukkan ada 10 akuisisi perusahaan sawit pada 2021 saja. Enam di antaranya oleh perusahaan Malaysia, sisanya oleh perusahaan Indonesia.

"Jadi dalam hal kepemilikan [tanah], semakin terkonsentrasi [hanya dengan beberapa perusahaan]," katanya, seraya menambahkan hal ini menghambat persaingan di industri.

"Dominasi ini rawan disalahgunakan," kata Ukay. "Kalau dominasi ini dicapai dengan kemajuan teknologi, yang membuat [perusahaan] lebih baik dan lebih efisien sehingga bisa menguasai pasar, maka itu sah-sah saja. Tapi masalahnya di sini adalah mereka [menjadi] dominan karena mereka mengontrol izin."

Peraturan menteri tahun 2013 membatasi total cadangan lahan konsesi kelapa sawit hingga 100.000 hektar (247.100 hektar) per perusahaan. Namun, para pengamat mengatakan peraturan tersebut secara konsisten gagal membatasi penguasaan korporasi atas tanah di Indonesia, karena perusahaan publik dikecualikan dari peraturan ini.

GAPKI mengkritik peraturan tersebut, dengan mengatakan hal itu mempersulit perusahaan besar untuk memperluas konsesi mereka. Asosiasi kelapa sawit mengatakan perluasan lahan adalah satu-satunya cara untuk memenuhi target produksi minyak sawit negara yang terus meningkat, dan dengan demikian batas tersebut harus dihapuskan.

Data dari TuK Indonesia menunjukkan bahwa 21 dari 25 grup kelapa sawit terbesar di Indonesia beroperasi melalui perusahaan induk yang tercatat di bursa. Akibatnya, perusahaan-perusahaan ini dapat melewati batas tersebut.

Marcellina Nuring Ardyarini, Direktur Kebijakan KPPU, mengatakan lima produsen minyak goreng terbesar di Indonesia juga memiliki konsesi kelapa sawit terbesar, jauh di atas batas 100.000 hektar.

Dia menolak menyebutkan nama perusahaan, tetapi sebuah studi tahun 2016 oleh KPK, mengidentifikasi beberapa kelompok perusahaan kelapa sawit yang menguasai konsesi besar di Indonesia.

Menurut kajian KPK, 19 kelompok memiliki total konsesi lebih dari 100.000 hektar.

Tiga grup teratas adalah Salim Ivomas Pratama, Sime Darby (Minamas) dan Astra Agro Lestari. Mereka mengontrol gabungan 946.000 hektar (2,34 juta acre) konsesi di Indonesia, menurut KPK---sebuah wilayah yang luasnya enam kali London.

Hasil akhir dari audit harus melihat perusahaan yang ditemukan melanggar hukum menghadapi konsekuensi hukum, kata Wiko Saputra, seorang peneliti kebijakan ekonomi di LSM lingkungan Auriga Nusantara. Pendeknya, audit akan sia-sia karena tidak ada efek jera bagi pelanggar hukum, ujarnya.

Mansuetus Darto, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), mengatakan dia meragukan bahwa tindakan penegakan hukum akan dihasilkan dari audit tersebut. Dia mencontohkan, Badan Pemeriksa Keuangan yang dikenal dengan BPK sudah melakukan audit terhadap industri sawit pada 2019 lalu.

Audit tersebut menemukan bahwa 81% perkebunan kelapa sawit di Indonesia beroperasi dengan melanggar berbagai peraturan, termasuk kelebihan ukuran, ketidakpatuhan terhadap standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), kegagalan untuk mengalokasikan lahan yang cukup untuk petani kecil, dan kurangnya izin HGU. mengoperasikan.

Darto mengatakan, sejak saat itu belum ada tindak lanjut yang jelas atas temuan BPK tersebut.

Edi dari TuK Indonesia mengatakan dia juga ragu tentang audit baru yang mengarah ke tindakan. Dia mencatat bahwa bahkan ketika perusahaan kelapa sawit dinyatakan bersalah di pengadilan kebakaran di konsesi mereka, mereka masih dapat menghindari tanggung jawab mereka untuk membayar kerusakan lingkungan.

Hingga akhir 2021, Kementerian Lingkungan Hidup telah mengajukan tuntutan hukum terhadap 28 perusahaan dan memenangkan putusan dari pengadilan senilai total Rp19,8 triliun ($1,37 miliar). Namun, perusahaan hanya membayar 2,5% dari jumlah tersebut hingga saat ini.

"Bahkan ketika sudah ada putusan pengadilan atas kasus kebakaran hutan dan lahan, belum juga dieksekusi," kata Edi. "Jadi itu membuat kami khawatir auditnya akan seperti apa."

Untuk memastikan audit akan mengarah pada penegakan hukum, pemerintah harus mengumumkan temuannya kepada publik, tambahnya.

"Hasil audit ini harus dipublikasikan agar ada pengawasan publik dan agar lembaga keuangan sadar ada risiko pendanaan [perusahaan pelanggar]," kata Edi.

Meski demikian, dengan Luhut yang dikenal jago politik memimpin audit, Edi yakin pemerintah tidak akan kesulitan mendapatkan data audit, termasuk identitas pemilik sawit yang sebenarnya atau "menguntungkan". perusahaan.

Pada Maret 2018, Presiden Widodo menandatangani peraturan penting yang memberi perusahaan waktu satu tahun untuk mengungkapkan pemilik manfaat mereka kepada negara. Namun hingga batas waktu Maret 2019, hanya 7.000 perusahaan, dari lebih dari 1 juta yang terdaftar di Indonesia, yang telah mengajukan informasi yang diperlukan.

Demikian jawaban dari saya. Terima kasih.

Wassalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabbarakatuh

MUHAMMAD FADHILAH

55521120025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun