Ijtihad secara bahasa berarti mencurahkan segala kemampuan dan kesungguhan. Dalam terminologi hukum Islam (Ushul Fiqh), Ijtihad adalah pengerahan segenap daya nalar (pemikiran) oleh seorang ahli (mujtahid) untuk menetapkan hukum syariat Islam pada suatu masalah yang hukumnya tidak dijelaskan secara tegas (nash sharih) dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Ijtihad dianggap sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur'an dan Sunnah, dan perannya sangat penting untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul seiring perkembangan zaman, demi kemaslahatan umat.
Berikut adalah metode-metode utama Ijtihad yang umum dikenal dan digunakan dalam penetapan hukum Islam:
1. Ijm' (Konsensus Ulama)
Definisi: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, mengenai penetapan hukum syara' untuk suatu masalah.
Logika: Kesepakatan para ahli yang memiliki kompetensi tinggi dianggap mencerminkan kebenaran yang mendekati mutlak, dan memiliki kekuatan hukum yang sangat tinggi.
Contoh: Kesepakatan sahabat Nabi untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur'an dalam satu mushaf.
2. Qiys (Analogi)
Definisi: Menyimpulkan hukum suatu masalah baru (far'un) yang tidak ada nashnya, dengan cara membandingkannya atau menganalogikannya dengan hukum masalah lama (ashlun) yang sudah ada nashnya, karena adanya persamaan 'Illat (sebab hukum) di antara keduanya.
Logika: Jika suatu hukum ditetapkan karena sebab tertentu, maka kasus baru yang memiliki sebab yang sama harus dikenakan hukum yang sama.
Contoh: Mengharamkan narkotika dengan meng-qiyas-kan pada hukum khamar (minuman keras) yang diharamkan, karena 'illat (sebab) pengharamannya sama, yaitu sama-sama memabukkan atau merusak akal.