Mohon tunggu...
Muhammad Dzikriyyan
Muhammad Dzikriyyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengkritisi sesuatu lebih dekat pada kemajuan daripada hanya fokus menjalaninya saja

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Restorasi Islam: Keterbukaan dan Internalisasi Nilai-Nilai Ilahiyah

14 Mei 2023   10:42 Diperbarui: 14 Mei 2023   10:54 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam (pinterest.com/Günaydın Hüzün)

Mengapa Islam bisa menyebar dengan cepat dan bahkan pernah menjadi poros peradaban dunia? Padahal Islam tidak berangkat dari kebudayaan apapun melainkan bermula pada kepercayaan atau tauhid. 

Apakah karena Islam memiliki doktrin jihad yang membuat umatnya pantang menyerah, atau hukum Islam yang dianggap tegas. Hingga hipotesis suprantauralnya yang menyatakan bahwa ketika manusia taat kepada entitas Transenden maka ia akan diberikan kebahagiaan dikehidupan pasca dunia. Konklusi-konklusi tersebut tidak dapat dinafikan dan benar adanya. 

Namun, secara general apa yang membuat Islam menjadi dogma yang menghegemoni dunia pada abad ke 7 sampai abad pertengahan. Bahkan tidak hanya merasuki pengetahuan dunia yang bersifat immateril, tetapi coraknya dapat dilihat dari peninggalan materil berupa arsitektur dan benda-benda yang memiliki nilai guna tinggi hingga sekarang.

Islam sebagai identitas bermula di Jazirah Arab. Nabi Muhammad SAW merupakan seorang Rasul pembawa risalah Ilahiyah untuk umat manusia, risalah tersebut dikemas dalam satu kepercayaan dan tatanan ajaran yang disebut Islam.

Islam datang dalam keadaan asing, namun umatnya terus berupaya untuk menyebarkan agama Islam kepada dunia. Umat Islam mempercayai bahwa Islam adalah rahmatan lil-'alamin atau rahmat bagi seluruh alam. Sehingga bukan saja untuk orang Arab khususnya Makkah dan Madinah melainkan juga untuk semua orang yang ada di dunia, tidak terbatas oleh ras ataupun territorial. Tentunya banyak tantangan yang dihadapi dan perlu hal-hal solutif visioner untuk dilakukan.

Pada awal kedatangan Islam, Islam berupaya survive dan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat Jazirah Arab. Pendekatan secara sosial budaya menjadi prioritas utama ketika masa itu. 


Adat kebiasaan orang Arab Jahiliyah tidak luput diekstraksi oleh Islam. Islam mencoba memisahkan kebathilan dengan kebaikan tanpa membuang adat tersebut secara keseluruhan. Kemudian terjadi internalisasi nilai-nilai Ilahiyyah pada budaya yang diubah Islam. Internalisasi nilai-nilai Ilahiyah merupakan pemurnian dan penanaman nilai-nilai keTuhanan terhadap suatu hal.

Pada masa pra Islam atau Jahiliyah aqiqah sudah dikenal oleh masyarakat Arab, namun pada praktiknya terdapat perbedaan kontras dengan aqiqah yang disyariatkan Islam. Pada masa pra Islam orang-orang Arab akan melumuri darah hewan kurban pada anak yang baru dilahirkan, kemudian didoakan kepada berhala-berhala. 

Sementara itu, ketika Islam datang terjadi perubahan signifikan pada ritual ini. Nabi Muhammad SAW memurnikan dan menanamkan nilai-nilai keTuhanann pada prosesi aqiqah. Islam mensunnahkan orang tua anak yang baru lahir untuk menyembelih hewan kurban, daging hewan kurban akan dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai bentuk kebaikan, praktik melumuri darah pada kepala bayi dihapuskan, dan kemudian diakhiri dengan pemberian nama serta doa untuk bayi.

Masa terus berjalan, arsitektur Islam mulai berkembang sejak Islam menyebar ke Persia. Karakteristik arsitektur Persia adalah bangunannya yang memiliki kubah-kubah. Ketika diadopsi oleh Islam, masjid-masjid mulai memiliki kubah diatasnya. Pada masa Rasulullah SAW belum ada menara pada Masjid, setelah 80 tahun Rasul wafat baru muncul menara. 

Menara yang dikenal sebelum Islam dimanfaatkan terutama di Timur Tengah dan Mesopotamia, disebut Ziggurat, kemudian di Gereja-Gereja Suriah. Kompromi lintas budaya menjadi stimulus terjadinya akulturasi. 

Akulutrasi ini kemudian menjadi bagian dari identitas eksistensi Islam. Hal tersebut merupakan bentuk manifestasi Islam sebagai rahmatan lil-'alamin. Islam tidak fobia dengan budaya manapun, bahkan ketika ada budaya bathil sekalipun Islam mampu mentransformasikan nilai-nilai kebaikan ke dalamnya dan membuang nilai-nilai keburukan tanpa menghilangkan budaya tersebut.

Ketika Islam datang ke daratan Eropa, pergolakan pemikiran terasa sangat pekat di sana. Cendekiawan Romawi hingga Yunani dan dinamika kehidupan di Eropa memberikan implikasi serius pada perkembangan pengetahuan di dunia Islam. Islam memiliki paradigma tersendiri dalam mengembangkan rasionalitasnya dengan memosisikan Tuhan pada tatanan tertinggi dalam berpikir. Hadirnya pemikiran-pemikiran dari Yunani tidak langsung membuat Islam kontra dengannya.

Interaksi antar dua atau lebih corak pemikiran memungkinkan terjadinya mutasi ilmu pengetahuan. Ketika tesis dan antitesis berhadapan, maka dapat terjadi peleburan antara dua hal tersebut dan menghasilkan sintesis atau integrasi dua elemen atau lebih yang menghasilkan sesuatu yang baru. Sehingga akan berguna kepada kemajuan ilmu pengetahuan secara komperhensif. Islam menerima pemikiran tersebut dan melakukan internalisasi nilai-nilai Ilahiyah.

Pada masa dinasti Abbasiyah didirikan "Bayt al-Hikmah" atau rumah kebijaksanaan. Tempat ini digunakan untuk mengkaji dan menerjemahkan buku-buku. Keterbukaan Islam terhadap ilmu pengetahuan menstimulus ilmuan-ilmuan Islam mengkaji ilmu pengetahuan di luar dunia Islam termasuk karya filsuf, seni, hingga pengetahuan-pengetahuan dari peradaban Persia, Romawi, dan Yunani.

Kompleksasi ilmu pengetahuan dan akulturasi sosial budaya menunjukan Islam sangat dinamis dengan perkembangan zaman. Tidak heran kalau Islam mampu menguasai dunia pada masa itu. Islam terbuka dengan paham dan sosial budaya manapun. Tidak memandang agama, ras, dan teritorial. Objektivitas yang dilakukan Islam mampu mengeluarkan kebenaran yang terselimuti keburukan. 

Hal-hal baru tersebut kemudian dimurnikan dan ditanamkan nilai-nilai keTuhanan. Inilah yang menjadi kelebihan Islam. Islam terbuka dengan banyak hal, terbukti dari zaman Rasulullah SAW terdapat ritual aqiqah yang diubah dari adat Jahiliyah, kemudian arsitektur Masjid yang diadopsi dari kaum kafir Persia, dan cendekiawan Islam yang menerima paham-paham orang non-muslim.

Islam besar karena keterbukaan dan kemampuannya untuk menginternalisasikan nilai-nilai Ilahiyah pada sesuatu yang baru ataupun lampau. Menurut Nurcholis Madjid, Islam mampu menyelesaikan problema baik dari masalah yang berkaitan dengan antar dan intra agama, kemodernan, kebudayaan, maupun teknologi dengan keterbukaan. 

Menurutnya Islam mampu tampil sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin dalam pengertian yang sesungguhnya. Ketika umat Islam meninggalkan pola itu maka Islam akan mengalami stagnasi hingga kemunduran. Cendekiawan Islam kontemporer yaitu Muhammad Iqbal (1938) mengatakan kalau Islam mengalami kemunduran sejak 500 tahun yang lalu.

Sebagian umat Islam mulai menutup diri dari perkembangan dunia, baik ilmu pengetahuan hingga sosial budaya. Budaya barat seperti fashion dan lifestyle modern menjadi ancaman cukup serius bagi sebagian umat Islam. Kemudian Ilmu pengetahuan modern dari barat tidak lebih penting dipelajari daripada pengetahuan keIslaman. 

Padahal semuanya penting, mengingat ajaran Islam harus mengisi semua aspek sosial budaya dan ilmu pengetahuan. Sudah sewajarnya umat Islam mampu objektif dan menguasai semua ilmu pengetahuan agar dapat menginternalisasikan nilai-nilai Ilahiyah pada aspek-aspek tesebut.

Ketika ada paham baru seperti komunisme dan kapitalisme, sebagian dari kalangan umat Islam berusaha menjauhinya. Hal ini tentunya bukanlah sikap solutif melainkan dapat menyebabkan paham tersebut semakin berkembang pesat. Umat Islam dapat menanamkan nilai-nilai keTuhanan pada paham tersebut seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika mengubah ritual aqiqah dari orang-orang Jahiliyyah. Seperti tabi'in yang menggunakan arsitektur Persia untuk membangun Masjid. Seperti cendekiawan Islam yang menerima pemikiran cendekiawan Yunani. Islamisasi terjadi pada semua lini kehidupan manusia.

Restorasi Islam mampu diwujudkan dengan keterbukaan. Kemampuan Internalisasi nilai-nilai Ilahiyah pada sesuatu yang baru ataupun yang lampau adalah bentuk manifestasi dan bentuk pengamalan Islam sebagai rahmatan lil-'alamin. Rahmat bagi seluruh alam, tidak hanya untuk orang tertentu, ras tertentu, pemikiran tertentu tetapi untuk semuanya tanpa mendeskritkan disparitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun