Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena anak muda yang memilih menjadi freelancer semakin terlihat nyata. Di kafe, co-working space, atau bahkan dari kamar kos sederhana, banyak dari mereka yang kini tak lagi terpaku pada pekerjaan kantoran 9-to-5.
Mereka lebih memilih jalur freelance bekerja mandiri, mengatur waktu sendiri, dan menjual keahlian ke pasar yang jauh lebih luas, bahkan hingga ke luar negeri.
Bukan sekadar tren di media sosial atau gaya hidup ala digital nomad, pilihan ini kian populer seiring dengan kemajuan teknologi, terbukanya akses ke berbagai platform kerja lepas, dan perubahan pola pikir generasi muda soal karier.
Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan besar, apakah ini pilihan sadar karena keinginan akan fleksibilitas, atau justru langkah yang terpaksa diambil karena semakin sulitnya mencari pekerjaan tetap?
Fakta di Balik Meningkatnya Freelancer Muda
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena anak muda yang memilih menjadi freelancer semakin terlihat nyata.
Di satu sisi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah “pekerja bebas” atau freelancer meningkat signifikan selama pandemi. Sejak Agustus 2019 hingga Agustus 2020, jumlahnya tumbuh sekitar 26%, atau bertambah sekitar 4,32 juta orang, hingga total mencapai 33,34 juta orang. (Sumber: Tempo.co)
Selain itu, data dari Katadata juga menunjukkan lonjakan pekerja freelance, khususnya di sektor non-pertanian dan pertanian, masing-masing mengalami kenaikan sekitar 5% dan 12%. (Sumber: Katadata.co.id)
Di ranah internasional, platform seperti Upwork dan Fiverr memperlihatkan pertumbuhan yang tak kalah pesat. Pendapatan Upwork meningkat dari 503 juta dolar AS pada tahun 2021 menjadi 618 juta dolar AS pada 2022. Sementara itu, Fiverr mencatat pendapatan sekitar 337 juta dolar AS pada tahun yang sama. (Sumber: Wpade.com)
Data-data ini menunjukkan bahwa pilihan menjadi freelancer bukan lagi sekadar tren sesaat, melainkan bagian dari perubahan besar pola kerja global yang juga diikuti oleh anak muda Indonesia.