Di era digital saat ini, kemudahan bertransaksi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hanya dengan beberapa kali klik di ponsel, kita bisa membeli barang, memesan makanan, hingga membayar tagihan tanpa harus keluar rumah.Â
Teknologi finansial berkembang pesat, menciptakan berbagai solusi instan yang memanjakan penggunanya salah satunya adalah fitur paylater.
Fitur ini hadir sebagai solusi praktis: memungkinkan pengguna untuk membeli barang sekarang dan membayarnya di kemudian hari.Â
Namun, di balik kemudahan itu, tersembunyi risiko yang kerap diabaikan, terutama oleh generasi muda yang masih membangun fondasi keuangannya.Â
Tanpa disadari, paylater bisa menciptakan ilusi kemampuan finansial, membuat seseorang merasa seolah memiliki uang yang sebenarnya belum ada.
Kemudahan yang Menyesatkan
Bagi banyak anak muda, paylater memberikan kesan bahwa mereka memiliki daya beli lebih tinggi dari kenyataan.Â
Tanpa harus mengeluarkan uang di muka, mereka merasa bebas membeli barang yang diinginkan dari gadget terbaru hingga fashion branded. Ilusi ini membuat batas antara kebutuhan dan keinginan menjadi kabur.
Masalahnya, ketika tagihan jatuh tempo, banyak yang baru menyadari bahwa pendapatan bulanan tidak cukup untuk menutupi seluruh kewajiban.Â
Hal ini bisa memicu siklus utang yang berulang: membayar satu tagihan dengan pinjaman lain, atau menunda pembayaran hingga dikenakan bunga dan denda yang makin menumpuk.