Seolah-olah untuk bisa pulih, seseorang harus pergi ke tempat yang indah, menginap di hotel lucu, atau menikmati kopi sambil memandangi sunset. Padahal, tidak semua orang memiliki akses atau kemampuan untuk melakukan itu semua.
Standar semacam ini justru bisa menciptakan tekanan sosial baru bahwa untuk merasa “baik-baik saja,” seseorang harus terlihat seperti sedang healing versi Instagram.
Perlukah Jalan-Jalan untuk Healing?
Jawabannya: bisa ya, bisa tidak. Jalan-jalan bisa sangat membantu untuk menyegarkan pikiran, memberi jarak dari tekanan sehari-hari, dan membuka ruang refleksi.
Pergi ke tempat baru sering kali membuat kita merasa lebih bebas, seolah sejenak bisa melepaskan beban yang menumpuk. Suasana yang berbeda, udara segar, dan pemandangan alam bisa menjadi cara ampuh untuk menenangkan diri dan mengisi ulang energi.
Namun, penting untuk jujur pada diri sendiri: apakah kita benar-benar sedang butuh rehat? Ataukah kita sedang terbawa arus, merasa harus liburan karena semua orang di timeline terlihat sedang bersenang-senang?
Tidak sedikit orang yang pulang dari liburan justru merasa lebih lelah, baik secara fisik maupun finansial. Tubuh lelah karena perjalanan panjang yang padat jadwal, dompet menipis karena pengeluaran tak terduga, dan pikiran pun kembali terbebani karena realita menunggu di rumah.
Alih-alih merasa pulih, yang ada justru muncul rasa cemas dan stres baru. Ironisnya, semua itu sering tertutupi oleh senyum di foto dan caption bernuansa bahagia. Padahal, healing sejati tidak bisa dipaksakan.
Kembali ke Tujuan Awal
Daripada terjebak dalam standar healing ala media sosial, kita bisa kembali ke esensinya: menenangkan diri. Menemukan kedamaian batin tidak selalu membutuhkan destinasi eksotis atau pengeluaran besar.
Kadang, hal-hal sederhana justru lebih bermakna seperti berjalan kaki di pagi hari, menulis jurnal, merawat tanaman, atau mematikan notifikasi ponsel untuk sementara waktu.