Keunikan Pasar Tradisional di Tahun 1990
Dahulu, sekitar tahun 1990, pasar tradisional menjadi tempat utama bagi para ibu rumah tangga di desa untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.Â
Setiap pagi di hari pasar, jalanan desa dipenuhi oleh ibu-ibu yang berjalan kaki atau mengayuh sepeda menuju pasar.Â
Mereka membawa tas keranjang yang terbuat dari anyaman bambu atau rotan, siap untuk diisi dengan berbagai barang kebutuhan.Â
Suasana pasar begitu ramai dan penuh kehangatan, dengan para pedagang yang menawarkan dagangannya dengan suara lantang, serta pembeli yang tawar-menawar dengan ramah.
Pasar tradisional bukan hanya sekadar tempat berbelanja, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi. Ibu-ibu rumah tangga sering bertemu dengan tetangga atau sahabat mereka di pasar, bertukar kabar, atau bahkan sekadar berbincang mengenai kehidupan sehari-hari.Â
Di sinilah nilai sosial dan kebersamaan terasa begitu kuat, berbeda dengan belanja di era modern yang cenderung lebih individualistis.
Selain itu, pasar tradisional juga menawarkan berbagai produk segar langsung dari petani dan produsen lokal. Sayur-mayur, buah-buahan, ikan, daging, dan rempah-rempah tersedia dalam kondisi yang masih segar.Â
Para pedagang biasanya sudah memiliki pelanggan tetap yang mempercayai kualitas barang dagangan mereka. Dengan begitu, ada hubungan kepercayaan antara penjual dan pembeli yang terjalin erat selama bertahun-tahun.
Kondisi pasar pada waktu itu masih sangat alami, dengan banyaknya lapak yang hanya menggunakan meja kayu sederhana atau tikar sebagai tempat berjualan.Â
Tidak ada pendingin atau kemasan plastik yang berlebihan seperti sekarang, sehingga pembeli bisa memilih langsung barang yang mereka inginkan dengan lebih leluasa.Â
Harga barang pun lebih terjangkau, dan proses tawar-menawar menjadi budaya yang khas dalam transaksi di pasar.
Belanja dengan Tas Keranjang yang Awet dan Ramah Lingkungan
Salah satu ciri khas dari belanja di pasar tradisional pada masa itu adalah penggunaan tas keranjang yang dijinjing. Keranjang ini terbuat dari bahan alami seperti rotan atau anyaman bambu, yang kuat dan tahan lama.Â
Selama tidak rusak, tas ini bisa digunakan bertahun-tahun tanpa perlu diganti. Tidak seperti sekarang yang serba plastik, dahulu kita tidak mengenal kantong plastik sebagai wadah belanja.Â
Semua barang belanjaan, mulai dari sembako, sabun, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya, dimasukkan ke dalam keranjang tersebut.
Selain tahan lama, tas keranjang ini juga memiliki daya tampung yang cukup besar, sehingga para ibu rumah tangga dapat membawa banyak barang dalam satu perjalanan.Â
Bahkan, beberapa orang memiliki lebih dari satu tas untuk memisahkan jenis belanjaan, seperti bahan makanan basah dan kering. Hal ini membuat belanja lebih praktis dan terorganisir.
Penggunaan tas keranjang juga mengajarkan nilai hemat dan keberlanjutan. Karena tidak perlu membeli kantong plastik setiap kali berbelanja, pengeluaran pun lebih terkendali.Â
Selain itu, kebiasaan ini membantu mengurangi limbah plastik yang sekarang menjadi masalah besar bagi lingkungan.Â
Dengan memanfaatkan tas keranjang yang dapat digunakan berulang kali, para ibu rumah tangga secara tidak langsung telah menerapkan prinsip ramah lingkungan tanpa disadari.
Tak hanya itu, tas keranjang ini juga sering kali dibuat secara lokal oleh para pengrajin desa.Â
Kemasan Ramah Lingkungan, Tanpa Sampah Plastik
Jika membeli bahan makanan basah seperti ikan atau daging, pedagang akan membalutnya dengan daun pisang sebelum memasukkannya ke dalam tas keranjang.Â
Daun pisang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mampu menjaga kesegaran bahan makanan lebih lama. Selain daun pisang, beberapa pedagang juga menggunakan daun jati atau kertas bekas untuk membungkus barang dagangan mereka.
Selain itu, untuk produk-produk kering seperti gula merah, garam, atau rempah-rempah, pedagang sering menggunakan bungkus dari kertas koran bekas.Â
Penggunaan bahan-bahan alami ini mencerminkan budaya belanja yang lebih berkelanjutan, di mana hampir tidak ada limbah yang dihasilkan setelah berbelanja.
Kebiasaan ini membuat lingkungan tetap bersih dan bebas dari sampah plastik yang kini menjadi ancaman besar bagi ekosistem.Â
Karena plastik belum banyak digunakan pada masa itu, aliran sungai dan tanah di sekitar desa masih bersih tanpa tumpukan sampah.Â
Bahkan, setelah digunakan, daun pembungkus dapat dengan mudah terurai menjadi kompos alami yang menyuburkan tanah. Di samping itu, penggunaan kemasan alami juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.Â
Daun pisang dan daun jati sering kali diperoleh dari kebun sendiri atau dibeli dari petani setempat, sehingga mendukung perekonomian lokal dan mengurangi ketergantungan pada produk sekali pakai yang diimpor dari luar daerah.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebiasaan ini perlahan mulai tergeser oleh kemasan plastik yang dianggap lebih praktis. Namun, dampaknya terhadap lingkungan sangat besar.Â
Sampah plastik yang sulit terurai menumpuk di berbagai tempat, mencemari tanah, air, dan bahkan masuk ke rantai makanan.Â
Perbedaan Dulu dan Sekarang: Kiamat Sampah Plastik
Perubahan gaya hidup yang semakin modern membawa dampak besar terhadap lingkungan. Jika dahulu orang terbiasa menggunakan bahan alami dan dapat terurai, kini plastik telah mendominasi hampir setiap aspek kehidupan, termasuk di pasar tradisional.Â
Kantong plastik, styrofoam, dan berbagai jenis kemasan sekali pakai menjadi hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas belanja.
Sampah plastik kini bukan hanya ada di perkotaan, tetapi juga telah menyebar ke pelosok desa. Sungai-sungai yang dulunya jernih kini dipenuhi sampah, tanah-tanah yang dulunya subur kini tertutup oleh limbah plastik yang sulit terurai.Â
Sampah plastik bahkan telah masuk ke dalam rantai makanan, mengancam kesehatan manusia dan ekosistem secara keseluruhan.
Dulu, masyarakat sadar akan pentingnya penggunaan kembali barang-barang yang masih bisa dipakai. Tas keranjang digunakan berkali-kali, daun pisang dijadikan pembungkus alami, dan hampir tidak ada limbah yang berlebihan.Â
Sekarang, budaya sekali pakai semakin merajalela, membuat produksi sampah meningkat secara drastis. Selain itu, budaya tawar-menawar yang dulu erat kaitannya dengan pasar tradisional kini juga semakin terkikis.Â
Banyak orang lebih memilih belanja di supermarket atau toko modern yang serba praktis, meskipun itu berarti harus menerima kemasan plastik dalam jumlah besar.Â
Ini menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada nilai sosial dan interaksi antarindividu.
Kondisi ini mengingatkan kita bahwa sudah saatnya kita kembali ke kebiasaan lama yang lebih berkelanjutan.Â
Kerinduan Akan Masa Lalu yang Lebih Lestari
Melihat kondisi lingkungan saat ini, banyak orang mulai merindukan masa lalu yang lebih bersih dan lestari. Dulu, tanpa disadari, masyarakat sudah menerapkan gaya hidup ramah lingkungan tanpa harus mengikuti tren atau kampanye tertentu.Â
Mereka berbelanja tanpa menghasilkan limbah berlebih, menggunakan kembali barang-barang yang masih layak, serta menjaga keseimbangan alam dengan cara sederhana.
Kini, dengan meningkatnya kesadaran akan bahaya sampah plastik, muncul gerakan untuk kembali ke kebiasaan lama yang lebih ramah lingkungan.Â
Banyak orang mulai membawa tas belanja sendiri, memilih kemasan yang lebih mudah terurai, dan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.Â
Meski sulit untuk sepenuhnya kembali ke masa lalu, setidaknya kita bisa mengambil pelajaran dari kehidupan sederhana di tahun 1990 dan menerapkannya dalam kehidupan modern.
Kita mungkin tidak bisa menghapus plastik sepenuhnya dari kehidupan sehari-hari, tetapi kita bisa meminimalkan penggunaannya dan berusaha untuk kembali ke cara hidup yang lebih berkelanjutan.Â
Jika dulu kita bisa hidup tanpa sampah plastik berlebihan, mengapa sekarang tidak?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI