Ramadhan selalu menjadi momen spesial bagi masyarakat Indonesia. Selain sebagai bulan penuh ibadah dan spiritualitas, periode ini juga membawa dampak signifikan pada aktivitas sosial dan ekonomi.Â
Tradisi berbuka puasa bersama, meningkatnya kebutuhan bahan pokok, hingga persiapan menyambut Idul Fitri menjadi ciri khas yang tak terpisahkan dari bulan suci ini.
Namun, di tengah kondisi ekonomi yang sedang lesu pada tahun 2025, masyarakat dihadapkan pada tantangan baru. Lonjakan harga kebutuhan pokok, terbatasnya daya beli, dan ketidakpastian ekonomi global membuat banyak orang harus berpikir dua kali sebelum berbelanja.Â
Apakah kebiasaan konsumsi di bulan Ramadhan akan berubah? Ataukah tradisi belanja tetap bertahan meskipun kondisi ekonomi sedang sulit?
Kondisi Ekonomi 2025: Ancaman bagi Konsumsi Ramadhan?
Saat ini, berbagai indikator menunjukkan bahwa ekonomi masih dalam kondisi sulit. Inflasi yang terus meningkat, nilai tukar rupiah yang berfluktuasi, serta tingkat suku bunga yang tinggi membuat daya beli masyarakat tertekan.Â
Biaya hidup semakin mahal, sementara kenaikan upah tidak selalu sebanding dengan lonjakan harga barang dan jasa. Hal ini membuat banyak rumah tangga harus lebih berhati-hati dalam mengelola pengeluaran mereka.
Sektor-sektor utama seperti pangan, transportasi, dan energi menjadi yang paling terdampak. Harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng, gula, dan daging terus mengalami kenaikan, terutama menjelang Ramadhan ketika permintaan meningkat.Â
Tak hanya itu, harga BBM dan tarif listrik yang cenderung naik juga berkontribusi pada meningkatnya biaya produksi dan distribusi barang, yang pada akhirnya membebani konsumen.
Selain itu, suku bunga tinggi yang diterapkan untuk mengendalikan inflasi membuat kredit konsumsi menjadi lebih mahal. Akibatnya, masyarakat cenderung menunda pembelian barang-barang non-esensial, seperti elektronik, pakaian, atau kendaraan.Â