Sensor, kriminalisasi terhadap jurnalis dan aktivis, serta pembatasan kebebasan akademik adalah tantangan yang masih kita hadapi. Pram mengajarkan bahwa suara yang berani dan pemikiran yang kritis harus tetap hidup, meskipun ada upaya untuk membungkamnya.
4. Nasionalisme yang Kritis dan Mencintai Tanah Air dengan Kesadaran
Cinta tanah air dalam karya Pramoedya bukan sekadar slogan. Ia tidak menampilkan nasionalisme yang dangkal atau sekadar kebanggaan tanpa isi. Sebaliknya, ia mengajarkan bahwa mencintai Indonesia berarti memahami sejarahnya, mengenali luka-lukanya, dan berani mengkritiknya demi perbaikan.
Dalam banyak novelnya, Pram menampilkan karakter-karakter yang bergulat dengan identitas dan nasionalisme. Minke dalam Tetralogi Buru menghadapi dilema antara warisan pribumi dan pendidikan kolonialnya.Â
Gadis Pantai menggambarkan bagaimana perempuan pribumi diperlakukan sebagai objek dalam sistem feodal. Sementara itu, dalam Arus Balik, ia menunjukkan bagaimana kejayaan Nusantara pernah direnggut oleh kolonialisme dan pengkhianatan dari dalam.
Dari kisah-kisah ini, Pram mengingatkan bahwa nasionalisme bukan hanya soal menghafal sejarah atau mencintai simbol-simbol negara, tetapi juga keberanian untuk melihat kenyataan yang pahit dan berjuang memperbaikinya. Ia menolak nasionalisme yang semu yang hanya membanggakan kejayaan masa lalu tanpa berbuat apa-apa untuk masa depan.
Relevansinya hari ini terasa jelas. Di era globalisasi, ketika arus informasi dan budaya asing semakin deras, identitas kebangsaan kita diuji. Bagaimana kita tetap mencintai Indonesia tanpa terjebak dalam fanatisme buta? Bagaimana kita bisa menjadi bangsa yang maju tanpa melupakan sejarah sendiri?
5. Perjuangan yang Tak Pernah Usai
Pramoedya menulis untuk menyuarakan kaum tertindas, dan nyatanya perjuangan itu belum selesai. Lewat karya-karyanya, ia memberi suara bagi mereka yang sering kali tak terdengar kaum pribumi di bawah penjajahan, perempuan yang dikekang sistem patriarki, buruh yang dieksploitasi, hingga mereka yang dibungkam karena berani bersuara.
Namun, apa yang ia suarakan di masanya masih relevan hingga kini. Ketimpangan sosial dan ekonomi, eksploitasi tenaga kerja, ketidakadilan hukum, dan pembatasan kebebasan berpikir masih menjadi kenyataan yang dihadapi banyak orang. Perempuan masih berjuang untuk mendapatkan kesetaraan, kelompok marjinal masih harus bertarung untuk hak-haknya, dan mereka yang berani melawan ketidakadilan masih kerap dibungkam.
Di era modern ini, bentuk penindasan mungkin berubah, tetapi esensinya tetap sama. Kapitalisme global menciptakan jurang yang semakin lebar antara kaya dan miskin, korupsi masih merajalela, dan kebebasan berbicara sering kali terancam. Pram, dengan segala keberanian dan ketajaman analisis sosialnya, mengajarkan kita bahwa kesadaran harus diikuti dengan aksi.