Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Membaca Kembali Pramoedya, Apa yang Masih Relevan Hari Ini?

2 Februari 2025   09:56 Diperbarui: 3 Februari 2025   13:43 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.(KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO) 

"Tahun 2025 menandai seratus tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang maestro sastra Indonesia yang meninggalkan warisan intelektual luar biasa."

Sebagai penulis yang karyanya kerap menggugah kesadaran, Pram tidak hanya menulis cerita, tetapi juga merajut narasi sejarah, perlawanan, dan kemanusiaan dalam setiap lembar bukunya.

Di sepanjang hidupnya, ia menghadapi penindasan, pemenjaraan, dan pembungkaman, namun tak sekalipun berhenti menulis. Karyanya tetap hidup, melampaui batas zaman dan terus relevan dalam berbagai aspek kehidupan. 

Bumi Manusia, Rumah Kaca, Gadis Pantai, Arus Balik semuanya bukan sekadar buku, tetapi juga rekaman sejarah dan perlawanan yang mengajak kita berpikir lebih kritis tentang dunia di sekitar kita.

Kini, satu abad setelah kelahirannya, kita kembali dihadapkan pada pertanyaan penting: Apa yang masih bisa kita pelajari dari Pram? Apakah pemikirannya masih relevan dengan kondisi sosial, politik, dan budaya saat ini? 

1. Kritik terhadap Ketidakadilan dan Penindasan

Pram dikenal sebagai penulis yang vokal dalam menyuarakan ketidakadilan. Melalui karya-karyanya, ia menyuarakan penderitaan rakyat jelata yang seringkali terpinggirkan oleh kekuasaan dan sistem yang tidak adil. 

"Bumi Manusia," novel pertama dalam Tetralogi Buru, misalnya, tidak hanya bercerita tentang cinta, tetapi juga menyuguhkan potret nyata kolonialisme yang menindas kehidupan pribumi.

Membaca karya-karya Pram membuat kita merenung, bahwa bentuk-bentuk penindasan tersebut masih hadir dalam wajah yang berbeda di masa kini. Ketimpangan sosial, ketidakadilan hukum, diskriminasi ras dan gender, serta kesenjangan ekonomi semua ini adalah manifestasi dari penindasan yang dahulu ia kritik. 

Pram mengajarkan kita untuk tidak tinggal diam. Melalui tokoh-tokohnya yang berani dan tegas, ia memberi contoh bahwa kesadaran akan hak dan keberanian untuk melawan adalah langkah pertama menuju perubahan.

2. Pentingnya Pendidikan dan Kesadaran Sejarah

Tokoh Minke dalam Tetralogi Buru adalah contoh bagaimana pendidikan menjadi kunci kesadaran dan perubahan. Sebagai seorang pribumi yang mendapatkan kesempatan belajar di sekolah elit Belanda, Minke mulai melihat ketidakadilan yang menjerat bangsanya. 

Namun, pendidikan bukan sekadar memberinya pengetahuan lebih dari itu, ia mendapatkan kesadaran bahwa sistem yang ada tidak berpihak pada kaumnya. Kesadaran inilah yang menggerakkan Minke untuk menulis dan bersuara, menggunakan pena sebagai senjata melawan ketidakadilan. 

Melalui tulisannya, ia menantang sistem kolonial yang menindas dan berusaha membangkitkan semangat perlawanan di kalangan pribumi. Pram menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya soal sekolah dan gelar, tetapi tentang bagaimana seseorang memanfaatkan pengetahuannya untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat.

Relevansinya di masa kini sangat jelas. Di era informasi seperti sekarang, akses pendidikan semakin luas, tetapi apakah itu cukup? Minke mengajarkan bahwa pendidikan yang sejati adalah yang mampu membuka mata kita terhadap realitas sosial dan mendorong kita untuk bertindak. 

Dengan maraknya hoaks, pembodohan massal, dan polarisasi di media sosial, semangat kritis seperti yang dimiliki Minke sangat dibutuhkan agar kita tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga mampu menganalisis dan memahami kebenaran dengan lebih mendalam.

Pramoedya Ananta Toer (sumber gambar: Liputan6.com/Abdillah)
Pramoedya Ananta Toer (sumber gambar: Liputan6.com/Abdillah)

3. Kebebasan Berpikir dan Berkarya

Pramoedya menghabiskan bertahun-tahun hidupnya dalam tahanan tanpa pengadilan, namun semangatnya tak pernah padam. Di balik jeruji besi, ia tetap menulis, mencatat sejarah yang diabaikan, dan melahirkan karya-karya besar yang hingga kini masih menggugah pemikiran banyak orang. 

Tetralogi Buru yang ditulis secara lisan sebelum akhirnya dibukukan setelah ia dibebaskan menjadi bukti bagaimana gagasan tidak bisa dipenjara. Dalam kondisi serba terbatas di Pulau Buru, tanpa akses buku dan alat tulis yang memadai, Pram tetap berkarya. Ia mengandalkan ingatan dan bercerita kepada sesama tahanan sebelum akhirnya menuliskannya secara diam-diam. 

Sikapnya ini mencerminkan keyakinannya bahwa pemikiran tidak bisa dikekang, dan kebenaran harus terus diperjuangkan, meski dalam keadaan paling sulit sekalipun. Kisah Pram relevan dengan kondisi hari ini, di mana kebebasan berekspresi masih sering mendapat tekanan. 

Sensor, kriminalisasi terhadap jurnalis dan aktivis, serta pembatasan kebebasan akademik adalah tantangan yang masih kita hadapi. Pram mengajarkan bahwa suara yang berani dan pemikiran yang kritis harus tetap hidup, meskipun ada upaya untuk membungkamnya.

4. Nasionalisme yang Kritis dan Mencintai Tanah Air dengan Kesadaran

Cinta tanah air dalam karya Pramoedya bukan sekadar slogan. Ia tidak menampilkan nasionalisme yang dangkal atau sekadar kebanggaan tanpa isi. Sebaliknya, ia mengajarkan bahwa mencintai Indonesia berarti memahami sejarahnya, mengenali luka-lukanya, dan berani mengkritiknya demi perbaikan.

Dalam banyak novelnya, Pram menampilkan karakter-karakter yang bergulat dengan identitas dan nasionalisme. Minke dalam Tetralogi Buru menghadapi dilema antara warisan pribumi dan pendidikan kolonialnya. 

Gadis Pantai menggambarkan bagaimana perempuan pribumi diperlakukan sebagai objek dalam sistem feodal. Sementara itu, dalam Arus Balik, ia menunjukkan bagaimana kejayaan Nusantara pernah direnggut oleh kolonialisme dan pengkhianatan dari dalam.

Dari kisah-kisah ini, Pram mengingatkan bahwa nasionalisme bukan hanya soal menghafal sejarah atau mencintai simbol-simbol negara, tetapi juga keberanian untuk melihat kenyataan yang pahit dan berjuang memperbaikinya. Ia menolak nasionalisme yang semu yang hanya membanggakan kejayaan masa lalu tanpa berbuat apa-apa untuk masa depan.

Relevansinya hari ini terasa jelas. Di era globalisasi, ketika arus informasi dan budaya asing semakin deras, identitas kebangsaan kita diuji. Bagaimana kita tetap mencintai Indonesia tanpa terjebak dalam fanatisme buta? Bagaimana kita bisa menjadi bangsa yang maju tanpa melupakan sejarah sendiri?

5. Perjuangan yang Tak Pernah Usai

Pramoedya menulis untuk menyuarakan kaum tertindas, dan nyatanya perjuangan itu belum selesai. Lewat karya-karyanya, ia memberi suara bagi mereka yang sering kali tak terdengar kaum pribumi di bawah penjajahan, perempuan yang dikekang sistem patriarki, buruh yang dieksploitasi, hingga mereka yang dibungkam karena berani bersuara.

Namun, apa yang ia suarakan di masanya masih relevan hingga kini. Ketimpangan sosial dan ekonomi, eksploitasi tenaga kerja, ketidakadilan hukum, dan pembatasan kebebasan berpikir masih menjadi kenyataan yang dihadapi banyak orang. Perempuan masih berjuang untuk mendapatkan kesetaraan, kelompok marjinal masih harus bertarung untuk hak-haknya, dan mereka yang berani melawan ketidakadilan masih kerap dibungkam.

Di era modern ini, bentuk penindasan mungkin berubah, tetapi esensinya tetap sama. Kapitalisme global menciptakan jurang yang semakin lebar antara kaya dan miskin, korupsi masih merajalela, dan kebebasan berbicara sering kali terancam. Pram, dengan segala keberanian dan ketajaman analisis sosialnya, mengajarkan kita bahwa kesadaran harus diikuti dengan aksi.

Kesimpulan: Pram dan Kita Hari Ini

Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar penulis, ia adalah cermin bagi bangsa ini. Melalui karyanya, ia memotret ketidakadilan, perjuangan, harapan, dan kompleksitas identitas Indonesia. Ia tidak hanya menulis untuk zamannya, tetapi juga untuk generasi mendatang termasuk kita yang hidup hari ini.

Pemikirannya tetap hidup dan menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan tidak pernah usai. Jika dulu Pram menghadapi kolonialisme dan represi politik, kini kita berhadapan dengan tantangan baru: kesenjangan ekonomi, polarisasi sosial, manipulasi informasi, serta ancaman terhadap kebebasan berpikir dan berekspresi.

Membaca Pram hari ini bukan sekadar mengenang seorang sastrawan besar, tetapi sebuah ajakan untuk menjadi lebih sadar, lebih kritis, dan lebih peduli terhadap realitas di sekitar kita. Ia mengajarkan bahwa sejarah tidak boleh dilupakan, ketidakadilan harus dilawan, dan pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk membebaskan diri dari kebodohan dan ketertindasan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun