Mohon tunggu...
Aminullah
Aminullah Mohon Tunggu... Penulis - scribo ergo sum

buruh tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karya Fiksi dan Media Sosial: Alasan Milenial Tidak Bahagia

16 Oktober 2020   15:00 Diperbarui: 16 Oktober 2020   14:57 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi remaja yang tidak bahagia sebab media sosial/NYPost

Begitu juga film Hollywood dan film Indonesia pada umumnya. Sedangkan dalam novel, terutama dalam novel popular, konten yang diangkat selain kisah cinta kehidupan urban juga tentang cerita motivasi, bagaimana orang berjuang dari nol, tidak punya apa-apa, hingga sukses. 

Di samping kisah cerita, dalam semua karya fiksi tersebut ada aksesoris berupa pakaian mahal, mobil mewah, rumah megah, motor antik, kucing langka, hingga ketampanan fisik sebagai standar nilai kesuksesan seseorang. Simpulannya, glorifikasi kekayaan material dan pemujaan terhadap well-being ada pada hal yang kita konsumsi, dan celakanya kita menjadikan itu semua sebagai standar kebahagiaan.

Media sosial Instagram punya peranan ke dalam hal tersebut. 

Aktor-aktor yang bermain dalam film drama Korea, Hollywood, dan film Indonesia melegitimasi hegemoni pemujaan tersebut di Instagram untuk kepentingan pribadi yang hedonistis. Bisa kita jumpai mereka mengenakan pakaian mahal, mengendarai kendaraan mewah nan antik, atau difoto bersama pasangannya yang rupawan bikin siapapun yang melihatnya iri dan dengki. Sebagai contoh, aktor lokal Chelsea Islan dengan Bastian Steel. 

Hal ini dicontoh oleh kaula muda. Saya pernah menemui di story kawan saya yang memamerkan bulu mata tanamnya yang mahal meniru salah satu aktor kawakan, padahal ia adalah penerima beasiswa yang selalu misuh-misuh bila uang beasiswa telat cair. 

Dampaknya berupa efek domino, dialami barangkali bukan hanya saya, banyak orang terutama kaula muda alias milenial menjadi tidak bahagia karena kebanyakan dari kita tidak mampu menggapai standar-standar tersebut sehingga menyebabkan kita memiliki angan-angan untuk menggapainya, walaupun sebenarnya tidak memungkinkan secara rasional.

Mark Manson, dalam bukunya yang fenomenal itu, terang-terangan menyatakan bahwa kita, manusia modern, hidup dengan banyak kecemasan tingkat rendah. Acap kali kita, dibikin cemas bila kita belum mencapai standar kesuksesan sehingga kita hidup seolah-olah dikejar oleh sesuatu. Manson dengan gamblang menyatakan kesia-siaan teknologi karena gagal membawa kebahagiaan sejati, yang selalu kita dambakan. 

"The path to happiness," katanya vulgar, "is a path full of shit heaps and shame".  Manson menyatakan bahwa hidup selalu tidak adil, bukan salah kita tetapi kita harus menerimanya.

Tapi Mark fair sebab menawarkan sebuah solusi. Solusi yang ditawarkan adah rehat sejenak dengan teknologi, kemudian berkontemplasi atau berinteraksi dengan diri sendiri. 

Pikirkan kembali hal-hal apa yang paling penting untuk diri sendiri, bahwa  definisi kebahagiaan seseorang tidak sama dengan definisi kebahagiaan orang lain. Ada yang bahagia jika punya barang-barang branded, ada yang bahagia jika punya kekasih yang setia dan romantis, ada pula yang bahagia sebab masih diberikan kehidupan oleh Tuhan.

Dea Anugrah, seorang wartawan dan novelis Indonesia, memberikan pendapatnya yang saya rasa sejalan dengan Mark Manson untuk tidak memelihara pikiran positif. Menurut Dea dalam tulisannya di portal berita online, berpikir positif seperti "segalanya akan baik-baik saja" adalah sikap yang tak siap kecewa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun