Mohon tunggu...
Muhammad Aziz Rizaldi
Muhammad Aziz Rizaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengangguran

Berusaha dan terus bergerak untuk berdampak

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Degradasi Moral di Indonesia (Menelisik Kasus Pencabulan 12 Santriwati di Bandung)

23 Maret 2022   00:18 Diperbarui: 23 Maret 2022   00:23 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: fashionpulis.com

 

Isu-isu kekerasan perempuan dan seksualitas akhir-akhir ini menggembar-gembor di berbagai media massa Nasional. Menurut Komnas Perempuan tak hanya satu atau dua kasus saja namun mencapai angka 4.000 kasus sejak Januari hingga September 2021. 

Bayangkan betapa banyak perempuan di luar sana yang menerima kenyataan itu? Sungguh memilukan dan menyayat hati. Lebih miris lagi apabila terjadi pada anak di bawah umur. Tentu dampak secara psikologisnya begitu mendalam. Anak usia 7-15 tahun secara psikologis masih dikategorikan sebagai manusia-manusia yang tengah mencari pondasi hidup. 

Agar nanti hidupnya jauh lebih baik dari yang tengah dirasakan. Namun, jika mereka yang masih muda telah mengalami tekanan batin yang begitu kuat dan menusuk apakah pondasi hidup mereka akan kokoh? Itu tergantung masing-masing pribadi, ada yang kuat, ada yang langsung depresi, bahkan ada yang langsung bunuh diri.

Syariat yang Dijadikan Topeng Syahwat 

Akhir-akhir ini seluruh media di televisi, media online, media cetak, dan media massa yang lain serentak mengangkat isu kekerasan perempuan dan seksualitas. Tidak terhitung lagi jumlah berita yang tersiar dan terngiang di otak kita. Pastinya berita-berita seperti itu begitu mengagetkan. 


Bagaimana tidak? Seperti berita yang tersiar dan yang paling menarik perhatian penulis sendiri adalah berita mengenai Ustad Cabul Pemerkosa 12 Santriwati di Bandung. 

Bagaimana tidak menarik? Sedangkan pelaku pencabulan adalah seorang ustad yang notabenenya tahu dan paham akan syariat. Tetapi, sangat ironis sekali karena ustad yang seharusnya menjadi tiang di setiap masalah justru menjadi ranjau yang menjebak korban-korbannya.

Sungguh memilukan syariat disalahgunakan untuk membodohi anak-anak di bawah umur yang sedang menempa itu. Mereka-Para Santriwati merupakan anak-anak yang penurut. Hal tersebut terbukti pada salah satu fakta yang mana Sang Ustad membujuk dengan dalih Murid harus taat pada Guru. 

Dengan dalih dan doktrin seperti itu secara otomatis anak-anak polos ini menaati kelakuan cabul Sang Ustad. Begitu rusaknya pendidikan moral di pesantren jika ustad-ustad yang dijadikan teladan mempunyai topeng syahwat. Lebih pilunya lagi ketika mendengar ada beberapa korban yang tengah mengandung anak ustad biadab tersebut. Apa mungkin orang biadab seperti itu mau bertanggungjawab? 

Tentu saja itu hanya pelumas agar syahwatnya terus tersalurkan. Yang tidak habis pikir itu jumlah korban yang mencapai 12 anak. Apakah masuk akal? Apakah santriwati-santriwati ini terlalu polos? Tidak ada perlawanan? Atau ustad biadab ini yang terlalu bernafsu sehingga melakukan segala cara agar nafsunya tersalurkan. 

Bagaimana perasaan orang tua yang telah percaya kepada pihak yayasan? Mereka telah penuh harap ketika pertama kali anaknya melangkahkan kaki ke pondok pesantren. Mereka berharap agar anaknya pandai dan paham agama atau bahkan berharap jika anaknya menjadi ustadzah. Namun ternyata mereka masuk ke ranjau. 

Coba pikirkan perasaan orang tua mereka? Pasti hancur mendengar masa depan anaknya sudah dilesapkan oleh ustad biadab yang tak bermoral. Apakah memang moral di negeri ini sudah hancur? Lenyap oleh globalisasi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu muncul di angan-angan penulis.

Memang di luar itu banyak sekali kejadian yang sangat ironi dengan latar belakang pendidikan seseorang. Mereka bersekolah di bidang agama sampai menjadi doctor namun praktiknya masih kosong. Banyak juga orang-orang beragama yang berdalih dengan syariat Islam yang mengatakan bahwa poligami itu sah-sah saja jika dapat adil ke semua istrinya. 

Mereka menggunakan topeng itu agar istrinya terbujuk dan mau dimadu. Namun, hal tersebut apakah tepat? Bisa jadi tepat, bisa juga tidak karena perasaan wanita itu sangat halus-sehalus debu namun jika dicampur dengan kerikil maka akan menjadi bentrokan psikis. Wanita yang sudah memiiki status bersuami seharusnya dipertahankan dan dijaga bukannya malah disakiti dengan duri madu. 

Dilihat dari kacamata Hak Asasi Manusia jelas perilaku seperti itu sangatlah melanggar. Seorang wanita jika menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan jelas merupakan pelanggaran HAM berat.  

Berbicara tentang Moral

Manusia merupakan makhluk sosial yang seharusnya mempunyai moral dalam setiap pergaulan sosialnya. Moral ini dijadikan sebagai pagar agar seseorang mempertimbangkan setiap langkahnya. 

Moral kaitannya dengan agama, dalam ajaran agama Islam moral merupakan salah satu hal yang sangat penting. Namun, jika kejadiannya seperti sekarang ini, merebaknya berita pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu ustad mencerminkan adanya degradasi atau kemerosotan moral manusia Indonesia. 

Coba bayangkan saja ustad yang seharusnya memiliki moral, etika, dan budi yang baik malah justru sebaliknya. Ustad yang merupakan seorang pendidik yang senantiasa mengarahkan anak didiknya ke arah yang lebih cerah justru merusak masa depan anak didiknya.  Ustad ini bisa digambarkan sebagai binatang yang haus akan hasrat.

Apakah kemerosotan moral di Indonesia dapat diperbaiki? Segala penyakit pasti ada obatnya. Jika penyakit-penyakit yang muncul berkaitan dengan hati maka obatnya hanyalah niat dan kesabaran. Untuk memperbaiki moral masyarakat di Indonesia hanya dapat ditangani dengan kesadaran individu masing-masing. 

Dimulai dari yang kebiasaan terkecil dahulu lalu bertahap. Jika, masalah moral ini dibiarkan maka ke depannya akan muncul ustad-ustad cabul berikutnya yang siap memangsa anak didiknya. Memperbaiki moral sama saja dengan memperbaiki pondasi seseorang. 

Sebenarnya langkah baiknya adalah dengan pendidikan yang baik dan benar kepada anak kita agar terbentuk karakter yang bermoral. Karena moral ini sifatnya sangat mendasar.

Melihat Kacamata Psikologis Korban

Sudah pasti dari segala kejadian akan timbul akibatnya. Sebab hidup sebenarnya merupakan hubungan sebab-akibat. Bicara dampak psikis dari kekerasan seksual pada diri korban jelas sangat kompleks. Kekerasan seksual dapat menyebabkan dampak psikologis, dan emosional pada diri penyintas. Dampak yang pertama kali menghinggapi penyintas adalah depresi. 

Setiap kali penyintas mengalami kilas balik, teringat kejadian itu dan dihinggapi ketakutan yang berlebihan. Karena pelecehan seksual akan membekas dan tergurat pada hati penyintasnya sehingga muncul rasa trauma masa lalu sehingga bisa jadi mereka tidak mau lagi mengenal laki-laki. 

Di mata penyintas, laki-laki ditampilkan sebagai serigala beringas yang siap setiap saat untuk menerkam masa depannya. Bahkan ada beberapa kasus yang mengakibatkan penyintas kekerasan seksual mengalami gangguan kepribadian dan dianggap gila. Bahkan, yang lebih parah lagi akibat trauma dan depresi akibat pelecehan seksual para penyintas melakukan hal yang sangat merugikan, yaitu bunuh diri. 

Apa itu dapat menyelesaikan masalah? Menurut penulis memang masalah yang dihadapi penyintas sendiri selesai. Namun, bagaimana dengan keluarga korban? Apakah mereka akan tinggal diam saja? Yang pasti mereka akan merasa terpukul.


Menengok Hukuman Predator Nafsu

Kita semua tahu bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum yang hukum tertingginya adalah UUD 1945. Perbuatan cabul di atur dalam KUHP dalam Buku Kedua tentang Kejahatan BAB XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 285) tentang perkosaan, Pada Pasal 285 tentang perkosaan menyatakan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 Tahun. 

Namun, bisa kita lihat di luar sana para tersangka dijatuhi hukuman paling tidak 4 atau 5 tahun. Itu sudah sangat jauh dari ancaman jeratan penjara 12 Tahun. Apakah dengan dipenjara para predator akan jera? Sepertinya tidak, setelah ke luar dari bui pasti tetap ada segelintir manusia yang kembali mengulang kesalahannya. 

Seharusnya di Indonesia memberikan hukuman yang jera sekalian seperti hukuman kebiri atau hukuman mati agar orang-orang jera melakukan tindak kekerasan seksual. Dengan beberapa pertimbangan mungkin dapat dilakukan hukumat tersebut. Dampak yang diakibatkan dari kekerasan seksual sangat berpengaruh pada masa depan korban.

****

Sekali lagi, penulis menegaskan bahwa degradasi moral Indonesia sudah sangat akut. Hal itu terbukti dengan merebaknya kasus pelecehan seksual. Apalagi baru-baru ini terungkap kasus manusia bejad yang bisa menjadi ustad. Dia berkedok agama untuk melancarkan lesatan nafsunya. 

Orang-orang seperti ini memang memiliki dasar syariat agama yang kuat namun disimpangkan kepada kepuasan pribadi. Seharusnya pengadilan Indonesia bijak dalam menangani kasus ini. 

Apalagi tindakan cabul ini sudah terjadi sejak tahun 2016 sampai 2021 dan memakan korban 12 bahkan ada beberapa yang hamil. Jelas-jelas ini merusak masa depan mereka dan masa depan bangsa Indonesia jika orang-orang seperti ini tetap dipertahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun