4. Bahasa yang Ambigu Bisa Melemahkan Isi Perjanjian
Sebagai advokat, saya sering menemukan perjanjian yang disusun sendiri oleh para pihak tanpa pendampingan hukum. Akibatnya, banyak klausul yang multitafsir, tidak tegas, bahkan bertentangan antar pasal dalam satu dokumen.
Ketika terjadi sengketa, hakim akan menafsirkan isi perjanjian berdasarkan asas kehati-hatian dan kepentingan yang wajar. Jika redaksi kalimat tidak jelas, maka yang merugikan bisa saja pihak pembuatnya sendiri.
5. Perjanjian Lisan Bisa Lebih Kuat dari Perjanjian Tertulis
Dalam hukum perdata, perjanjian lisan tetap sah sepanjang memenuhi syarat sahnya perjanjian. Bahkan, ada kalanya perjanjian tertulis justru dianggap tidak valid karena dibuat hanya untuk formalitas, sementara yang dilaksanakan adalah versi lisan yang berbeda.
Ini terjadi misalnya dalam jual beli tanah yang surat perjanjiannya menyebut harga Rp 100 juta, padahal secara lisan disepakati Rp 300 juta. Jika dibuktikan ada niat menyembunyikan nilai transaksi untuk menghindari pajak, perjanjian itu bisa dibatalkan.
Kesimpulan
Surat perjanjian bukan jaminan kemenangan dalam perkara hukum. Lebih penting dari itu adalah substansi perjanjian, syarat keabsahan, bukti pendukung, dan kecermatan penyusunan. Oleh karena itu, masyarakat hendaknya tidak tergoda membuat perjanjian sendiri tanpa pemahaman hukum, apalagi hanya bermodalkan template dari internet.
Sebagai advokat, saya selalu menyarankan agar setiap perjanjian penting dikonsultasikan terlebih dahulu. Karena hukum bukan hanya soal tulisan di atas kertas, melainkan juga niat, bukti, dan kepatuhan pada prosedur.
Ditulis oleh Muhammad Ari Pratomo (MuhammadAriLaw)
Pengacara Indonesia, Penulis, Musisi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI