Banyak masyarakat awam meyakini bahwa dengan adanya tanda tangan dan materai, sebuah surat perjanjian otomatis sah dan mengikat secara hukum. Namun dalam praktik pengadilan, tidak sedikit kasus yang berakhir mengejutkan: pihak yang memegang surat perjanjian justru kalah. Mengapa ini bisa terjadi?
Sebagai advokat yang kerap mendampingi perkara keperdataan dan bisnis, saya ingin menguraikan secara gamblang, agar masyarakat tidak terjebak dalam persepsi yang keliru.
1. Syarat Sah Perjanjian Menurut Hukum
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi empat syarat:
Kesepakatan para pihak
Kecakapan untuk membuat perikatan
Suatu hal tertentu
Suatu sebab yang halal
Apabila salah satu dari keempat syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan bahkan dianggap tidak pernah ada.
Contohnya, jika perjanjian dibuat oleh seseorang yang belum dewasa atau dalam tekanan, maka unsur kesepakatan dan kecakapan bisa dipersoalkan. Begitu juga jika objek perjanjian ternyata bertentangan dengan hukum (misalnya jual beli barang ilegal), maka sebabnya menjadi tidak halal.
2. Materai Bukan Penentu Keabsahan
Banyak yang salah paham mengenai fungsi materai. Materai hanyalah alat pemenuhan kewajiban pajak atas dokumen, bukan bukti sah atau tidaknya perjanjian. Artinya, meskipun tidak bermaterai, suatu perjanjian tetap bisa sah secara hukum apabila memenuhi empat syarat tadi.
Sebaliknya, dokumen bermaterai bisa dianggap cacat hukum jika isinya bertentangan dengan hukum atau dibuat secara sepihak.
3. Bukti di Pengadilan Bukan Hanya Surat
Dalam hukum acara perdata, pembuktian tidak hanya mengandalkan surat perjanjian. Alat bukti lainnya mencakup:
Keterangan saksi
Pengakuan para pihak
Persangkaan
Sumpah
Pemeriksaan langsung oleh hakim
Jika satu pihak dapat menunjukkan bahwa surat perjanjian dibuat di bawah tekanan, tidak pernah dilaksanakan, atau bahkan ditandatangani tanpa pemahaman isi, maka surat itu bisa dikalahkan oleh bukti lain.
4. Bahasa yang Ambigu Bisa Melemahkan Isi Perjanjian
Sebagai advokat, saya sering menemukan perjanjian yang disusun sendiri oleh para pihak tanpa pendampingan hukum. Akibatnya, banyak klausul yang multitafsir, tidak tegas, bahkan bertentangan antar pasal dalam satu dokumen.
Ketika terjadi sengketa, hakim akan menafsirkan isi perjanjian berdasarkan asas kehati-hatian dan kepentingan yang wajar. Jika redaksi kalimat tidak jelas, maka yang merugikan bisa saja pihak pembuatnya sendiri.
5. Perjanjian Lisan Bisa Lebih Kuat dari Perjanjian Tertulis
Dalam hukum perdata, perjanjian lisan tetap sah sepanjang memenuhi syarat sahnya perjanjian. Bahkan, ada kalanya perjanjian tertulis justru dianggap tidak valid karena dibuat hanya untuk formalitas, sementara yang dilaksanakan adalah versi lisan yang berbeda.
Ini terjadi misalnya dalam jual beli tanah yang surat perjanjiannya menyebut harga Rp 100 juta, padahal secara lisan disepakati Rp 300 juta. Jika dibuktikan ada niat menyembunyikan nilai transaksi untuk menghindari pajak, perjanjian itu bisa dibatalkan.
Kesimpulan
Surat perjanjian bukan jaminan kemenangan dalam perkara hukum. Lebih penting dari itu adalah substansi perjanjian, syarat keabsahan, bukti pendukung, dan kecermatan penyusunan. Oleh karena itu, masyarakat hendaknya tidak tergoda membuat perjanjian sendiri tanpa pemahaman hukum, apalagi hanya bermodalkan template dari internet.
Sebagai advokat, saya selalu menyarankan agar setiap perjanjian penting dikonsultasikan terlebih dahulu. Karena hukum bukan hanya soal tulisan di atas kertas, melainkan juga niat, bukti, dan kepatuhan pada prosedur.
Ditulis oleh Muhammad Ari Pratomo (MuhammadAriLaw)
Pengacara Indonesia, Penulis, Musisi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI