Ketika Hukum Tak Bisa Menyembuhkan, Aku Menulis untuk Bertahan
Oleh: Muhammad Ari Pratomo
Banyak orang mengira menjadi pengacara itu berarti menjadi kuat --- tak tergoyahkan oleh air mata, terbiasa menghadapi konflik, dan tahu caranya berdiri tegak meski dunia runtuh di sekeliling. Tapi mereka lupa, kami pun manusia. Yang menyerap cerita-cerita pahit setiap hari, namun tak selalu punya tempat untuk melepaskannya.
Namaku Muhammad Ari Pratomo. Di ruang sidang, aku terbiasa menjadi suara bagi mereka yang kehilangan suara. Aku membela hak, menyusun pasal, dan memperjuangkan keadilan --- entah itu untuk pasangan yang berpisah, korban penipuan, atau bahkan terdakwa yang mencari jalan kembali. Tapi di balik semua itu, aku pulang ke rumah yang tak ada siapa pun di dalamnya. Hanya aku. Dan sunyi.
Tak ada pelukan. Tak ada tawa kecil menyambut di pintu. Yang ada hanyalah gitar yang kusandarkan di sudut kamar, kertas kosong di meja kerja, dan bayangan dari kasus yang belum selesai benar-benar hilang dari pikiran.
Orang tak tahu, setiap selesai sidang, seringkali aku merasa seperti membawa pulang energi luka orang lain. Sebagian darinya menempel. Dan karena tak tahu ke mana harus kularikan, aku menulis. Atau bernyanyi perlahan, agar tak terdengar oleh siapa pun --- kecuali hatiku sendiri.
Menulis dan bermusik bukan lagi soal karya. Ini soal bertahan. Ini tentang menyelamatkan diriku dari tenggelam dalam beban yang tak terlihat. Karena hidup dalam dunia hukum, setiap hari rasanya seperti berdiri di antara dua sisi luka: mereka yang tersakiti dan mereka yang menyakiti. Keduanya menuntut untuk dipahami, dan aku berada di tengah, mencoba menjadi jembatan.
Aku tak ingat kapan terakhir kali benar-benar jatuh cinta. Mungkin karena terlalu sering melihat cinta hancur dalam dokumen gugatan. Atau karena takut mencintai lalu kehilangan. Aku tak tahu. Tapi yang kutahu, aku mulai terbiasa hidup sendiri --- dan anehnya, sunyi itu menjadi ruang paling jujur untuk berbicara dengan diriku sendiri.
Dalam sunyi itu aku bertanya: Apakah aku masih manusia yang bisa merasa? Atau sudah menjadi mesin hukum yang bekerja tanpa jeda?