Mohon tunggu...
Muhammad Al Zikri
Muhammad Al Zikri Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Pollitik, Universitas Muhammadiyah Jakarta

mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UMJ, peserta mata kuliah Filsafat dan Etika Komunikasi, Dosen Pengampu Dr. Nani Nurani Muksin, M.Si

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cancel Cultur: Dilema Filsafat Moral dalam Ruang Komunikasi Digital dalam Kasus Abidzar Al-Ghifari : Tinjauan Filsafat Dan Etika Komunikasi

17 Juli 2025   11:34 Diperbarui: 17 Juli 2025   11:34 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abidzar  (Sumber: Celebrity.okezen)

Cancel culture merupakan fenomena kompleks dalam ruang digital yang menghadirkan dilema filsafat moral antara akuntabilitas publik dan keadilan prosedural. Penelitian ini menganalisis fenomena tersebut melalui studi kasus kontroversi Abidzar Al-Ghifari (2025) di Indonesia, dengan pendekatan filsafat komunikasi (ontologi, epistemologi, aksiologi) dan etika komunikasi digital (kejujuran, tanggung jawab, empati). Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun cancel culture berfungsi sebagai kontrol sosial, praktiknya cenderung bersifat vigilantisme digital---penghakiman massal berbasis emosi tanpa proses verifikasi atau kesempatan klarifikasi. Dampaknya meliputi degradasi kesehatan mental korban, penurunan empati pelaku, chilling effect pada kebebasan berekspresi, dan polarisasi diskursus publik. Solusi multidimensi yang direkomendasikan meliputi: (1) penguatan literasi digital kritis, (2) transisi dari retribusi ke pendekatan restoratif berbasis dialog, (3) desain mekanisme akuntabilitas proporsional, dan (4) peran aktif platform digital dalam moderasi konten. Transformasi ruang komunikasi digital menuntut kolaborasi individu, platform, dan masyarakat demi terciptanya ekosistem yang inklusif dan etis.

PENDAHULAN

Memahami "Cancel Culture" di Tengah Arus Komunikasi Digital (Picarella L, 2024). Perkembangan pesat teknologi informasi dan media sosial telah mengubah lanskap komunikasi manusia secara fundamental. Kemudahan akses dan kecepatan penyebaran informasi telah menciptakan ruang komunikasi digital yang inklusif, namun pada saat yang sama, juga rentan terhadap dinamika yang tidak terkontrol. Dalam konteks ini, muncul fenomena sosial baru yang kompleks, salah satunya adalah "cancel culture". Fenomena ini memperlihatkan pergeseran kekuatan dalam pembentukan opini publik, di mana publik kini dapat menggantikan media tradisional dalam menentukan siapa yang "layak" untuk dipermalukan atau diboikot. (Aisha, V. J. 2025). Hal ini mengindikasikan desentralisasi kekuasaan dari penjaga gerbang media yang mapan kepada khalayak daring yang kolektif dan seringkali anonim. Konsekuensinya, mekanisme akuntabilitas tradisional seringkali dikesampingkan atau dilengkapi oleh penghakiman kolektif yang cepat dan didorong oleh emosi, menciptakan tantangan etika yang signifikan di era digital.

"Cancel culture" didefinisikan sebagai budaya memboikot seseorang atau entitas yang dianggap bermasalah secara massal, biasanya diikuti dengan pencabutan dukungan publik. Ini merupakan bentuk pengucilan atau penolakan massal di ruang digital. Mekanisme psikologis yang mendahului tindakan "cancel" meliputi kesadaran akan hal negatif pada korban, munculnya emosi negatif yang kuat seperti kesal, sedih, dan marah, serta perasaan harus menghukum atau menyakiti korban (dr. Kevin Adrian, 2024). Fenomena ini seringkali terjadi di media sosial, melibatkan kritik massal, dan tekanan sosial untuk koreksi perilaku atau permintaan maaf. Bukti yang digunakan seringkali berupa tangkapan layar percakapan, video, atau unggahan media sosial lama. Fenomena ini dapat dipandang sebagai evolusi sanksi sosial informal di era digital. Meskipun bentuknya (boikot massa digital) baru, fungsi dasarnya (menegakkan norma sosial melalui hukuman) merupakan perilaku manusia yang telah ada sejak lama (VOI, 2025). Pemahaman ini membantu membingkai "cancel culture" tidak hanya sebagai tren internet sesaat, tetapi sebagai mekanisme penegakan moral kolektif yang kuat, meskipun seringkali tidak diatur, dalam dunia yang sangat terhubung.

Kasus Abidzar Al-Ghifari menjadi ilustrasi kontemporer yang relevan untuk memahami fenomena "cancel culture" di Indonesia pada tahun 2024-2025. Kontroversi ini berpusat pada pernyataan Abidzar yang dinilai merendahkan karya asli dan penggemar drama Korea saat promosi film "A Business Proposal". (VOI, 2025) Dampak yang terjadi adalah seruan boikot dan sepinya penonton film tersebut. Kasus ini relevan untuk dikaji melalui lensa filsafat moral dan etika komunikasi karena menyoroti kompleksitas interaksi digital, batas kebebasan berekspresi, tanggung jawab komunikator, dan peran publik dalam membentuk narasi. Dengan berfokus pada kasus Abidzar (VOI, 2025), analisis ini dapat bergerak melampaui konsep abstrak untuk menunjukkan tantangan etika dan filosofis yang nyata dari "cancel culture". Hal ini memungkinkan eksplorasi konkret tentang bagaimana tindakan komunikatif individu bersinggungan dengan penilaian moral kolektif di ruang digital, menggambarkan "dilema filsafat moral dalam ruang komunikasi digital."

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Filsafat Komunikasi: Landasan Memahami Ruang Digital. Filsafat komunikasi adalah disiplin ilmu yang menelaah pemahaman secara fundamental, metodologis, sistematis, analitis, kritis, dan holistis mengenai teori dan proses komunikasi. Disiplin ini membantu dalam melihat komunikasi sebagai fenomena yang lebih dalam dan kompleks, merenungkan makna, nilai, dan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep Dasar Filsafat Komunikasi (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi)

Ontologi Komunikasi Ontologi komunikasi membahas sifat dasar realitas komunikasi. Realitas dianggap sebagai hasil konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh interaksi dan komunikasi manusia. Pandangan ini menekankan bahwa persepsi individu tentang dunia dibentuk melalui proses komunikasi, dan realitas itu sendiri adalah hasil dari interpretasi dan konstruksi bersama. Komunikasi tidak hanya mencerminkan realitas yang ada, tetapi juga membentuk realitas itu sendiri. Dalam ruang digital, proses konstruksi realitas ini dipercepat secara signifikan. Kecepatan pembentukan opini dan penyebaran informasi yang seringkali tanpa verifikasi di media sosial berarti bahwa "realitas" di ruang digital dapat dibangun dan diubah dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuatnya sangat cair dan rentan terhadap manipulasi. Hal ini mempercepat proses "pengucilan" individu (Ridwan, A. 2013:144-145).

Epistemologi Komunikasi Epistemologi komunikasi menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia dalam konteks komunikasi. Ini berkaitan dengan cara kita memahami dan mendekati komunikasi sebagai objek studi. Pengetahuan tentang komunikasi tidak ada yang absolut atau tetap, melainkan selalu terbuka untuk interpretasi yang beragam dan seringkali bertentangan. Pengetahuan ini adalah hasil dari konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh budaya, bahasa, dan konteks sosial. Dalam konteks "cancel culture," ini berarti "kebenaran" atau "fakta" mengenai suatu insiden dapat menjadi sangat subjektif, dibentuk oleh interpretasi kolektif yang cepat dan seringkali bias. (Ridwan, A. 2013:141-143).

Aksiologi Komunikasi Aksiologi komunikasi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai-nilai seperti etika, estetika, atau agama dalam komunikasi. Ini membahas masalah moral dalam penyampaian informasi, kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab komunikator terhadap publik. Pentingnya kejujuran, integritas, saling menghormati, dan tanggung jawab sosial dalam berkomunikasi ditekankan dalam aksiologi komunikasi. Aksiologi juga memperhatikan pentingnya menghargai dan merayakan keberagaman dalam komunikasi, serta memastikan inklusi orang-orang dari berbagai latar belakang dan perspektif dalam diskusi dan pengambilan keputusan. Dalam konteks "cancel culture", nilai-nilai ini seringkali diuji, terutama ketika penghakiman kolektif mengesampingkan prinsip-prinsip keadilan dan tanggung jawab. (Ridwan, A. 2013:119-120).

Muhammad Mufid, bagian Teknologi Komunikasi Di Era Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun