Namun, dari refleksi itu pula saya belajar: bahwa organisasi hanya akan menjadi ruang yang hidup jika kita menjaganya dengan kesadaran dan tanggung jawab. Saya percaya bahwa setiap kader, pengurus, atau anggota memiliki peluang untuk memperbaiki, sejauh ia bersedia mengakui kekeliruan dan membuka ruang untuk tumbuh bersama. Menjadi bagian dari masalah memang tak bisa dihindari, tapi memilih untuk menjadi bagian dari solusi adalah panggilan moral yang tak boleh ditunda.
Jalan Tengah Menuju Organisasi yang Hidup
Jalan keluar dari krisis ORMAWA bukanlah romantisme masa lalu atau nostalgia terhadap era keemasan organisasi, tetapi keberanian untuk membangun format baru yang lebih kontekstual dan bermakna. Organisasi mahasiswa perlu bertransformasi menjadi ruang yang inklusif, adaptif, dan relevan dengan tantangan zaman. Transformasi ini bukan hanya sekedar perubahan struktur atau program kerja, tetapi perubahan paradigma, dari organisasi yang hanya mengejar agenda, menuju organisasi yang membangun kesadaran kolektif dan pemberdayaan.
Pertama, penting untuk menata ulang pola kaderisasi. Kegiatan pengkaderan tidak boleh berhenti pada pelatihan formal atau agenda seremonial, tetapi dirancang sebagai proses yang berkelanjutan, interaktif, dan memberdayakan. Penguatan literasi, diskusi tematik, pendampingan antar generasi, hingga platform belajar digital harus menjadi bagian integral dari pola kaderisasi modern.
Kedua, pendekatan kepemimpinan perlu bergerak dari model top-down menuju pola kepemimpinan partisipatif dan kolaboratif. Pemimpin tidak lagi menjadi pusat kendali tunggal, tetapi fasilitator yang mendengarkan, memfasilitasi ide, dan mendorong kader lain untuk bersuara. Dalam jurnal Dinamika Organisasi Mahasiswa disebutkan bahwa kepemimpinan inklusif dan fleksibel akan membuka ruang inovasi dan meningkatkan kepercayaan kader terhadap organisasi.
Ketiga, organisasi mahasiswa harus memanfaatkan teknologi sebagai alat penguatan komunikasi dan partisipasi. Media sosial, platform diskusi berani, hingga sistem informasi internal organisasi dapat menjadi instrumen untuk membangun jejaring, mendokumentasikan pencapaian, serta melibatkan lebih banyak mahasiswa secara fleksibel dan efisien.
Keempat, penting untuk membangun budaya evaluasi dan refleksi. Setiap program tidak hanya dilaksanakan, tetapi juga dievaluasi secara terbuka bersama anggota. Apa yang berhasil dipertahankan, apa yang gagal dibedah bersama. Dengan demikian, organisasi menjadi ruang belajar yang hidup, bukan ruang yang sekadar menjaga warisan atau mengulang agenda rutin.
Akhirnya, perlu juga dibangun semangat lintas organisasi,dialog, kolaborasi, dan kemitraan antar ORMAWA, tidak hanya dalam konteks formalitas antar unit kampus, tetapi dalam semangat berbagi praktik yang baik dan memperkuat basis gerakan mahasiswa. Di era krisis multidimensi seperti saat ini, organisasi tidak cukup hanya eksis secara struktural, tetapi harus dapat memberikan dampak budaya dan sosial di sekitarnya.
Merawat Organisasi sebagai Rumah Kader yang Hidup
Organisasi pelajar bukan sekadar struktur atau wadah formal; ia adalah rumah belajar yang seharusnya hidup, hangat, dan penuh makna. Namun rumah itu, dalam banyak kasus, kini terasa kosong, dindingnya berdiri, tetapi ruhnya memudar. Kita sering terjebak dalam rutinitas yang hampa nilai, kehilangan keberanian untuk bertanya: masihkah organisasi ini menjadi ruang tumbuh bagi kita semua?
Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud menyalahkan siapa pun secara tunggal. Sebaliknya, saya ingin mengajak kita semua, baik yang pernah, sedang, maupun akan menjadi bagian dari organisasi pelajar, untuk kembali merawat semangat awal. Bahwa organisasi adalah tentang kesadaran kolektif, tentang pertumbuhan bersama, tentang keberanian untuk gagal dan belajar, dan tentang cita-cita besar yang lahir dari ruang kecil.