Mohon tunggu...
Abbar
Abbar Mohon Tunggu... Pembelajar Sepanjang Hayat

Tertarik pada hal-hal yang membuat orang berhenti sejenak dan berpikir. Suka menulis, membaca, dan mengobrol tentang isu-isu yang sering luput dari perhatian. Lebih suka mempertanyakan daripada mengikuti. Hidup bukan tentang ikut tren, tapi mencari makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

ORMAWA Bukan Lagi Rumah Kita? Menggugat, Merefleksi, dan Membangun Kembali

12 Juli 2025   22:51 Diperbarui: 12 Juli 2025   23:00 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Bersama pasca kegiatan Seminar Matematika tahun 2019 (Sumber: Galeri Pribadi Penulis)

Organisasi mahasiswa (ORMAWA) pada dasarnya lahir dari semangat pemberdayaan diri dan partisipasi kolektif mahasiswa dalam melawan tantangan zaman. Ia bukan sekadar struktur birokratis di bawah naungan kampus, melainkan ruang belajar alternatif yang membentuk karakter, melatih kepemimpinan, dan menumbuhkan kesadaran sosial. Idealnya, ORMAWA hadir sebagai laboratorium sosial tempat mahasiswa merancang ide, bertumbuh bersama, dan menumbuhkan keberanian untuk bertanggung jawab terhadap perubahan sosial.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, semangat itu mengalami pasang surut. Fenomena rendahnya partisipasi, regenerasi yang tersendat, hingga absennya gagasan-gagasan segar menjadi gejala umum di berbagai kampus. Banyak pengurus ORMAWA mengeluhkan sulitnya mencari kader penerus, lemahnya kehadiran anggota dalam forum-forum organisasi, bahkan tak sedikit program kerja yang hanya berjalan sebagai formalitas tanpa substansi. Dalam jurnal Dinamika Organisasi Mahasiswa (2024), disebutkan bahwa tantangan utama ORMAWA hari ini bukan hanya datang dari luar seperti kebijakan kampus yang membatasi ruang gerak, tetapi juga dari dalam: lemahnya komitmen dan partisipasi mahasiswa yang kian menurun dari waktu ke waktu.

Kondisi ini menunjukkan bahwa dinamika organisasi mahasiswa kini berada dalam fase krisis komitmen. Mahasiswa tidak lagi memandang organisasi sebagai rumah intelektual atau ruang pengabdian sosial, melainkan sebagai beban tambahan di tengah tuntutan akademik dan kehidupan pribadi. Alih-alih ruang menjadi tumbuh, organisasi perlahan kehilangan daya magnetnya sebagai tempat yang layak diperjuangkan.

Ketimpangan Antara Nilai dan Praktik

Setiap organisasi mahasiswa dibangun atas nilai-nilai luhur yang tertuang dalam visi, misi, dan rumusan ideologisnya-mulai dari semangat kebangsaan, kepemimpinan kolektif, keberpihakan terhadap rakyat kecil, hingga cita-cita menjadi agen perubahan. Namun di banyak ruang ORMAWA hari ini, nilai-nilai tersebut seolah berhenti pada dokumen formal. Ia menjadi mantra yang diulang-ulang dalam Berbagai Sambutan, tetapi gagal menjelma dalam praktik keseharian organisasi.

Ketimpangan ini tampak dalam berbagai bentuk: kaderisasi yang seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter dan intelektualitas justru berakhir sebagai kegiatan seremonial tahunan. Diskusi-diskusi yang mestinya mendorong pemikiran kritis berubah menjadi pelengkap struktur acara. Banyak program kerja yang hanya dikejar demi pelaporan, bukan karena dorongan kebutuhan nyata pelajar atau masyarakat. Di sisi lain, pengurus seringkali lebih bertanggung jawab atas urusan teknis administratif daripada strategi pengembangan organisasi yang substansial.

Jurnal Dinamika Organisasi Mahasiswa menyoroti hal ini juga sebagai akibat dari model pengelolaan organisasi yang belum bertransformasi secara adaptif. Di tengah tuntutan zaman yang bergerak cepat, teknologi digital, arus informasi, dan perubahan nilai sosial organisasi mahasiswa sering kali gagal berinovasi. Kepemimpinan masih bersifat top-down, komunikasi internal tidak efektif, dan partisipasi ruang belum cukup terbuka bagi seluruh anggotanya.

Ketika nilai hanya berhenti di tataran wacana tanpa pembuktian nyata dalam tindakan, organisasi kehilangan kepercayaan dari anggotanya sendiri. Maka tak heran bila antusiasme menurun, dan kader muda memilih menjauh atau sekadar "ikut-ikutan" tanpa benar-benar terlibat. Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi persoalan mendasar dalam keinginan organisasi: antara yang diyakini dan yang dijalani, terbentang jarak yang semakin lebar.

Saya sebagai Bagian dari Masalah dan Solusi

Dalam keheningan pasca rapat, di tengah berkas laporan kegiatan dan kursi-kursi yang ditinggalkan, saya pernah bertanya dalam hati: "Apakah yang saya bangun selama ini benar-benar bermakna, atau hanya mengulangi dari pola yang itu-itu saja?" Sebagai seseorang yang pernah memimpin organisasi mahasiswa, saya tidak luput dari kontradiksi yang saya kritik. Ada masa ketika saya begitu bersemangat menciptakan perubahan, tetapi tak jarang pula saya terseret dalam rutinitas administrasi yang membunuh kreativitas.

Saya menyadari bahwa sebagian dari masalah yang saya keluhkan berasal dari cara saya memimpin, berkomunikasi, dan membangun hubungan dalam organisasi. Ada waktu ketika saya terlalu fokus pada output kegiatan dan lupa membangun hubungan emosional dengan anggota. Ada momen ketika saya menuntut komitmen, tetapi gagal memberikan ruang tumbuh bagi yang baru belajar. Dan disanalah saya paham bahwa krisis dalam ORMAWA bukan hanya soal sistem atau struktur, tetapi tentang manusia-manusianya, termasuk saya sendiri.

Namun, dari refleksi itu pula saya belajar: bahwa organisasi hanya akan menjadi ruang yang hidup jika kita menjaganya dengan kesadaran dan tanggung jawab. Saya percaya bahwa setiap kader, pengurus, atau anggota memiliki peluang untuk memperbaiki, sejauh ia bersedia mengakui kekeliruan dan membuka ruang untuk tumbuh bersama. Menjadi bagian dari masalah memang tak bisa dihindari, tapi memilih untuk menjadi bagian dari solusi adalah panggilan moral yang tak boleh ditunda.

Jalan Tengah Menuju Organisasi yang Hidup

Jalan keluar dari krisis ORMAWA bukanlah romantisme masa lalu atau nostalgia terhadap era keemasan organisasi, tetapi keberanian untuk membangun format baru yang lebih kontekstual dan bermakna. Organisasi mahasiswa perlu bertransformasi menjadi ruang yang inklusif, adaptif, dan relevan dengan tantangan zaman. Transformasi ini bukan hanya sekedar perubahan struktur atau program kerja, tetapi perubahan paradigma, dari organisasi yang hanya mengejar agenda, menuju organisasi yang membangun kesadaran kolektif dan pemberdayaan.

Pertama, penting untuk menata ulang pola kaderisasi. Kegiatan pengkaderan tidak boleh berhenti pada pelatihan formal atau agenda seremonial, tetapi dirancang sebagai proses yang berkelanjutan, interaktif, dan memberdayakan. Penguatan literasi, diskusi tematik, pendampingan antar generasi, hingga platform belajar digital harus menjadi bagian integral dari pola kaderisasi modern.

Kedua, pendekatan kepemimpinan perlu bergerak dari model top-down menuju pola kepemimpinan partisipatif dan kolaboratif. Pemimpin tidak lagi menjadi pusat kendali tunggal, tetapi fasilitator yang mendengarkan, memfasilitasi ide, dan mendorong kader lain untuk bersuara. Dalam jurnal Dinamika Organisasi Mahasiswa disebutkan bahwa kepemimpinan inklusif dan fleksibel akan membuka ruang inovasi dan meningkatkan kepercayaan kader terhadap organisasi.

Ketiga, organisasi mahasiswa harus memanfaatkan teknologi sebagai alat penguatan komunikasi dan partisipasi. Media sosial, platform diskusi berani, hingga sistem informasi internal organisasi dapat menjadi instrumen untuk membangun jejaring, mendokumentasikan pencapaian, serta melibatkan lebih banyak mahasiswa secara fleksibel dan efisien.

Keempat, penting untuk membangun budaya evaluasi dan refleksi. Setiap program tidak hanya dilaksanakan, tetapi juga dievaluasi secara terbuka bersama anggota. Apa yang berhasil dipertahankan, apa yang gagal dibedah bersama. Dengan demikian, organisasi menjadi ruang belajar yang hidup, bukan ruang yang sekadar menjaga warisan atau mengulang agenda rutin.

Akhirnya, perlu juga dibangun semangat lintas organisasi,dialog, kolaborasi, dan kemitraan antar ORMAWA, tidak hanya dalam konteks formalitas antar unit kampus, tetapi dalam semangat berbagi praktik yang baik dan memperkuat basis gerakan mahasiswa. Di era krisis multidimensi seperti saat ini, organisasi tidak cukup hanya eksis secara struktural, tetapi harus dapat memberikan dampak budaya dan sosial di sekitarnya.

Merawat Organisasi sebagai Rumah Kader yang Hidup

Organisasi pelajar bukan sekadar struktur atau wadah formal; ia adalah rumah belajar yang seharusnya hidup, hangat, dan penuh makna. Namun rumah itu, dalam banyak kasus, kini terasa kosong, dindingnya berdiri, tetapi ruhnya memudar. Kita sering terjebak dalam rutinitas yang hampa nilai, kehilangan keberanian untuk bertanya: masihkah organisasi ini menjadi ruang tumbuh bagi kita semua?

Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud menyalahkan siapa pun secara tunggal. Sebaliknya, saya ingin mengajak kita semua, baik yang pernah, sedang, maupun akan menjadi bagian dari organisasi pelajar, untuk kembali merawat semangat awal. Bahwa organisasi adalah tentang kesadaran kolektif, tentang pertumbuhan bersama, tentang keberanian untuk gagal dan belajar, dan tentang cita-cita besar yang lahir dari ruang kecil.

Masa depan ORMAWA tidak akan ditentukan oleh besarnya anggaran atau megahnya program kerja, tetapi oleh kejujuran refleksi dan kesediaan para kadernya untuk terus belajar dan berbenah. Jika kita mampu menjadikan organisasi sebagai ruang yang inklusif, adaptif, dan bernyawa, maka kita tidak hanya menjaga warisan sejarah, tetapi sedang menyiapkan generasi pemimpin yang sadar akan akar dan arah perjuangannya.

Maka mari kita jaga rumah ini. Bukan karena ia sudah sempurna, tetapi karena di dalamnya ada harapan yang belum selesai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun