16 September 2025- Bagi mahasiswa baru, Masa Ta'aruf Universitas (MATAF) selalu menjadi momen penting. Â Di sinilah mereka belajar tentang dunia perkuliahan dan peran strategisnya untuk bangsa. Â Melalui kegiatan ini, siswa tidak hanya mempersiapkan diri untuk belajar di kelas tetapi juga memperoleh pemahaman tentang peran mereka sebagai generasi penerus, agen perubahan, dan pilar masa depan Indonesia. Â Dua pemateri pada MATAF tahun ini memberikan wawasan yang mendalam. Nisya Sagita, Kasubditbintibsos Ditbinmas Polda DIY, berbicara tentang peran mahasiswa dalam bela negara di era post-truth. Amika Wardana, sebaliknya, memeriksa sistem pendidikan tinggi di Indonesia dan menekankan pentingnya strategi belajar yang matang. Â Kedua materi ini menyatu, saling melengkapi, dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang siapa mahasiswa dan bagaimana mereka harus berkontribusi.Â
Nisya Sagita berangkat dari era post-truth, realitas dunia saat ini. Â Saat ini, pendapat yang dipengaruhi oleh emosi sering mengalahkan fakta yang objektif. Â Informasi hoaks, misinformasi, dan disinformasi menyebar dengan cepat melalui media sosial, menyebabkan polarisasi sosial, penurunan nasionalisme, dan bahkan pengrusakan persatuan nasional. Â Nisya menyatakan bahwa bahaya ini nyata, terutama di kalangan generasi muda. Â Data Lemhannas RI tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 39 persen mahasiswa di Indonesia telah terpapar paham radikal, sebagian besar karena penggunaan media sosial yang tidak terkendali. Â Angka-angka ini jelas tidak sepele.Â
Ini adalah tempat bela negara mengambil bentuk barunya. Â Jika dulu bela negara berarti senjata, barisan militer, dan medan perang, sekarang medan perangnya adalah informasi. Â Nisya mengatakan bahwa siswa diharuskan untuk mampu menyaring arus informasi, mengevaluasi kebenaran informasi, dan menolak untuk menyebarkan kebohongan. Â Mengangkat senjata api bukan lagi masalah utama bagi negara ini; masalah sekarang adalah bagaimana generasi muda dapat mempertahankan martabat, berpikir kritis, mempertahankan budaya, dan melawan radikalisme yang mengancam keharmonisan bangsa. Â Ia menekankan bahwa siswa memiliki empat peran penting dalam kehidupan bangsa: mereka adalah agen perubahan yang membawa ide-ide baru, mereka adalah cadangan intelektual atau stok besi yang akan menggantikan generasi tua, mereka adalah kekuatan moral yang berani bersuara untuk kebenaran, dan mereka adalah kontrol sosial yang menyeimbangkan jalannya bangsa.Â
Setelah siswa menyadari ancaman ideologi dan informasi, Amika Wardana berkonsentrasi pada materi berikutnya tentang sistem pendidikan tinggi yang akan mereka ikuti. Â Dengan kalimat sederhana namun tajam, Amika memulai dengan mengatakan, "Masuk kuliah memang sama, tetapi keluar kuliah berbeda." Â Ada yang cepat lulus, ada yang lama, bahkan ada yang tersendat di tengah jalan. Â Perbedaan itu tidak lain ditentukan oleh strategi, ketekunan, dan cara mahasiswa mengelola perjalanan akademiknya.Â
Ia memberikan penjelasan tentang desain pendidikan tinggi Indonesia yang sudah direncanakan dengan baik. Â Program D3 berlangsung selama tiga tahun, program D4 atau S1 berlangsung selama empat tahun, dan program S1 akademik berlangsung selama empat tahun juga. Â Perjalanan mahasiswa lebih penting daripada durasi. Â Sejak semester pertama, mahasiswa diminta untuk membuat rencana. Rencana ini harus mencakup tujuan akademik dan non-akademik mereka, tanggal tujuan mereka untuk lulus, organisasi apa yang ingin mereka ikuti, lokasi magang, dan jenis pengalaman riset yang ingin mereka pelajari. Â Dengan perencanaan yang tepat, siswa dapat mengatur waktu mereka lebih baik daripada hanya mengikuti arus. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI