Praktik penggunaan trotoar oleh PKL dan pemotor masih meresahkan. Gubernur DKI, Pramono Anung, bahkan menyatakan kekesalannya menyusul kondisi trotoar yang kerap dikuasai aktivitas PKL dan kendaraan bermotor, mengganggu kenyamanan pejalan kaki dan memicu penertiban lebih intensif (Poskota). Di Salemba, Jakarta Pusat, trotoar yang seharusnya memberi ruang bagi pejalan kaki malah dipenuhi pedagang dan parkir liar, menyebabkan kekhawatiran terhadap keselamatan, terutama bagi penyandang disabilitas netra (Kumparan).
Penertiban terus digencarkan oleh Satpol PP dan petugas gabungan. Di Pulogadung, Jakarta Timur, trotoar kerap disisir dan PKL yang "nekat" diberi teguran serta spanduk peringatan (detik-news.com). Di Tanah Abang dan Cilincing, operasi serupa juga dilakukan untuk mengembalikan fungsi trotoar sebagai ruang publik yang bebas dari okupasi pedagang atau parkir ilegal (pusat.jakarta.go.id, https://www.beritajakarta.id/).
Pemerintah juga menyiapkan anggaran besar untuk perbaikan trotoar---sekitar Rp 200 miliar---yang akan menyasar seluruh wilayah Jakarta dan terintegrasi dengan moda transportasi umum seperti MRT, BRT, dan KRL (Poskota).
Dari Dua Sisi Mata Uang: Perangkap dan Peluang
Trotoar sejatinya menjadi ruang mobilitas penting, bukan tempat berdagang. Namun, bagi PKL, ini adalah lokasi strategis yang menjanjikan karena arus pejalan kaki tinggi dan biaya rendah. Secara mikroekonomi, itu masuk akal. Tetapi secara makro, semakin banyak trotoar yang dikuasai pedagang---terutama jika rawan melanggar regulasi---berpotensi memicu ketidakteraturan dan menurunnya estetika kota, yang berimbas buruk pada citra urban dan investasi.
Parahnya, tanpa strategi transisi yang inklusif, kebijakan larangan akan langsung memukul daya hidup PKL---mereka kehilangan akses pasar vital tanpa adanya sistem pengganti yang mendukung.
Solusi: Sinergikan Digitalisasi, Bantuan Modal, Relokasi, dan Infrastruktur
1. Digitalisasi Usaha PKL
Transformasi digital bukan hanya trend saja. Pelatihan pemasaran online, sistem catat keuangan digital, maupun pemanfaatan e-marketplace dan layanan antar bisa memperluas jangkauan pelanggan PKL hingga ke ranah modern. Pengalaman saya mengelola portofolio UMKM menunjukkan bahwa digitalisasi adalah filter untuk bertahan --- bahkan berkembang --- dalam era kompetisi digital.
2. Subsidi dan Bantuan Modal Terarah
Relokasi ke lokasi resmi biasanya membutuhkan modal---untuk sewa kios, renovasi, atau branding. Di sinilah pentingnya hadirnya subsidi yang efektif, baik melalui APBD maupun skema blended finance dengan swasta. Bantuan berbasis targeted subsidy lebih bermanfaat dan akuntabel dibanding distribusi dana umum yang sering tidak tepat sasaran.
3. Relokasi yang Desainnya Profesional
Trotoar bukan satu-satunya lokasi potensial---sentra PKL yang mudah diakses, memiliki fasilitas standar, dan dikelola profesional bisa menjadi solusi ideal. Berdasarkan analisis kelayakan investasi, lokasi yang strategis dan terkelola baik bisa meningkatkan volume transaksi PKL berkali lipat dibandingkan lokasi seadanya.
4. Perbaikan Infrastruktur Trotoar
Menganggarkan Rp 200 miliar untuk memperbaiki trotoar---dengan integrasi ke moda transportasi umum---adalah langkah tepat. Namun, tanpa pendampingan dan desain inklusif, perbaikan fisik semata tidak cukup. Trotoar yang diperbaiki juga harus responsif terhadap kebutuhan pejalan kaki dan dirancang agar tidak gampang diserobot PKL atau kendaraan.
Larangan berjualan di trotoar adalah langkah penting dalam penataan kota. Namun, efektivitasnya tergantung pada implementasi yang inklusif dan visioner. Dengan menggabungkan transformasi digital, bantuan modal tepat sasaran, relokasi yang profesional, serta perbaikan infrastruktur, kebijakan ini tidak hanya menertibkan ruang publik tetapi juga memberdayakan PKL agar naik kelas dan menjadi bagian produktif dalam pembangunan ekonomi kota.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI