Di Zaman yang serba canggih ini, berbagai macam teknologi seperti handphone, atau gadget dan lain sebagainya telah merubah kebiasaan dari suatu masyarakat. Yang dulunya masyarakat  lebih sering menyampaikan berita, informasi, tanggapan, kritikan, dan lain-lain secara langsung dari mulut ke mulut, kini mereka beralih dan lebih gemar menyampaikannya melalui cara yang tidak langsung yaitu dengan melalui media sosial.
Akhir-akhir ini masayarakat Indonesia sedang diterpa berita atau isu-isu yang kurang mengenakan, terutama pada aspek Pemerintahan Indonesia. Masyarakat mulai mempertanyakan arah demokrasi, terutama setelah munculnya putusan-putusan kontroversial dari Mahkamah Konstitusi yang dianggap tidak netral dan sarat kepentingan politik. Hal ini diperparah dengan menguatnya kesan bahwa politik dinasti semakin mencengkeram kekuasaan, terutama dengan keterlibatan keluarga dekat presiden dalam kontestasi politik. Serta harga kebutuhan pokok yang terus naik, lapangan kerja yang sulit diakses, serta upah yang dianggap kurang layak. Masyarakat juga terus menyoroti pada hukum Indonesia yang lebih tump ke atas dan tajam ke bawah. Kasus-kasus besar sering kali tidak ditangani secara transparan, sementara kritik publik kerap dihadapi dengan pelaporan atau jerat hukum lewat pasal-pasal karet dalam UU ITE. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah semakin anti-kritik dan kurang terbuka terhadap suara masyarakat.
Oleh karena itu, dengan memanfaatkan teknologi digital dengan melalui media sosial, masyarakat dapat beramai-ramai memberikan suaranya, tanggapan, serta kritikan mereka. Media sosial menjadi lokasi alternatif bagi masyarakat terutama generasi muda untuk bersuara, berbagai macam bentuk suara dapat ditemui di media sosial seperti meme, reels atau video pendek, hingga komentar satir. Salah satunya ada Meme, meme menjadi cara yang baru yang lebih kreatif, inovatif dan efektif untuk menyuarakan pendapat, keluhan, bahkan kekecewaan terhadap kebijakan publik. Lewat visual yang satir, pendek, dan mudah disebarluaskan serta disebarkan, meme telah menjadi bagian dari budaya digital yang menyentuh isu-isu serius dengan cara yang santai dan cenderung mengundang gelak tawa. Fenomena ini menjadi relevan untuk ditelaah lebih dalam dalam bingkai konstitusi, bagaimana seharusnya negara memandang ekspresi publik dalam bentuk meme, dan di mana batas antara kritik sah dengan pelanggaran hukum?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asri Ismail dkk. dalam Jurnal Lingue (2023) menunjukkan bagaimana peran meme di media sosial, khususnya dari akun Komikkita, memuat kritik tajam terhadap elite politik yang terlibat dalam isu korupsi, pelanggaran HAM, dan penyalahgunaan kekuasaan. Meme dalam konteks ini bukan sekadar hiburan, tetapi sarana untuk membongkar ideologi kekuasaan dan membentuk opini dalam masyarakat. Masyarakat menyambut kritik tersebut secara luas, terbukti dari banyaknya interaksi dan penyebaran ulang meme-meme tersebut. Ini menunjukkan bahwa meme telah menjadi alat demokratisasi baru dalam masyarakat digital. Sebagai contoh ada meme Pak Jokowi yang bertuliskan "YNTTKTS" artinya Yo Ndak Tau Tanya Kok Tanya Saya, maksud dari meme ini ialah mengkritik bagaimana sikap dari Pak Jokowi yang tidak acuh terhadap pertanyaan dari rakyat, seolah tidak serius dalam merespon suara dari rakyat dan berkesan menyepelakan rakyat. Oleh karena itu meme ini ditujukkan untuk mengkritik sikap dari Pak Jokowi tersebut.
Jadi secara konstitusional, kebebasan menyampaikan pendapat dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28F juga menegaskan hak untuk mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Dalam hal ini, meme sebagai produk ekspresi warga negara masuk dalam ruang perlindungan konstitusional. Namun, konstitusi juga memberikan batasan lewat Pasal 28J yang menyatakan bahwa kebebasan itu harus menghormati hak orang lain dan tunduk pada pembatasan demi ketertiban umum, moralitas, dan keamanan.
Beberapa tantangan muncul ketika pemerintah atau aparat penegak menanggapi meme ini dengan pelaporan hukum, terutama menggunakan UU ITE yang masih memiliki pasal-pasal yang bermakna ganda. Ini menimbulkan kekhawatiran dari maasyarakat, menyangka bahwa negara justru abai terhadap semangat konstitusi, dan berpotensi mengekang ekspresi publik yang sah. Padahal, konstitusi seharusnya menjadi pelindung pertama bagi suara warga, bukan alat untuk membungkam kritik.
Jadi dapat dikatakan, meme kritik terhadap pemerintah boleh saja dibuat dan disebbarluaskan akan tetapi dalam isinya tidak boleh ada yang mengandung unsur sara, rasis, menghina fisik, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan personal agar tidak melanggar konstitusi. Meme disini bukan hanya sekadar hiburan atau cemoohan, tetapi sebagai cara berkspresi yang kian hari semakin penting di era digital. Ketika pemerintah dikritik lewat meme, reaksi yang paling konstitusional bukanlah membungkam, tetapi mendengarkan. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sehat tumbuh dari keterbukaan terhadap suara rakyat bahkan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, yaitu meme.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI