Mohon tunggu...
Muhammad Rafif
Muhammad Rafif Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa

Selama belum masuk ke liang lahat, selama itu pula kewajiban menulis harus ditunaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Episode 1: Tetap bermain walau tidak dapat izin

27 Februari 2022   11:18 Diperbarui: 27 Februari 2022   11:20 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rumah dalam gang, Pagi hari.
Ojan bersiap-siap dengan cepat setelah bangun tidur. Karena pada hari ini, ia sudah ada agenda dengan kawannya. Nongkrong di pinggir Danau. Itulah Agenda yang ia dan kawan-kawannya sepakati pada jauh-jauh hari. Mumpung liburan masih tersisa dikit lagi kuotanya. Maka dari itu, ia sempatkan bermain, walaupun sebenernya ia tidak mendapatkan izin.
"mau kemana lagi sih, lagi musim penyakit gini, main mulu kerjaan kamu. Udah batalin aja mainnya," itulah kutipan ayah nya yang mengetahui ojan mau bermain.

Seketika itu, ojan yang padahal sudah dikit lagi rapih, mendadak lemes badannya. Semangatnya untuk bermain  ditenggalamkan oleh ayahnya. Baju yang tadinya ia mau pakai, dilemparkan ke arah mesin cuci, karena saking keselnya pada ayahnya. Hatinya mulai bergejolak pada saat itu juga. Ojan yang emosinya lemah, sedikit meneteskan air mata. Ia termenung saja. Ingin membatalkan main, tapi sayang. Karena tujuan ia bermain, hanya untuk menenangkan pikirannya saja. so as not to be depressed. Ia bosan dan sumpek ketika dalam waktu 24 jam 7 hari di rumah saja. Makan, Mandi, nonton tv, lalu Buka Hp main game, itu saja yang ia lakukan berulang kali berhari-hari selama liburan.

Lagi pula, Ojan pun jarang keluar rumah. berkeliaran kemana-mana setiap harinya, bahkan sampe malam hari tiba. Ojan pun tak pernah melakukannya. Kecuali ada urusan penting seperti tugas kuliah yang harus diselesaikan pada hari itu juga. Namun, dalam situasi itupun, ketika sehabis Isya anaknya belum tiba dirumah, langsung Hp ojan bergetar. Ternyata itu Pesan WhatsApp dari mamah tersayang Ojan.
"Lagi dimana dek, udah di jalan apa masih di kampus," begitulah bunyi pesan nya ketika anak keduanya belum tiba di rumah.

Memang begitulah nasib Ojan ketika hendak keluar rumah. Begitu ketat perizinannya. Sampai-sampai bila dibandingkan dengan masuk Komplek TNI AU yang dijaga oleh sang provost pada setiap pintu masuk. Sepertinya memang masih lebih susah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya. Pertanyaan yang diajukan oleh kedua orang tuanya itu lebih banyak lagi jenisnya ketimbang pertanyaan Provost. Begitulah nasib anak kedua.

Setalah menimbang-menimbang lagi beberapa menit, akhirnya ojan mengambil bajunya kembali yang sempat ia lemparkan ke mesin cuci. Setelah ia rapih dan sudah mau berangkat, Ia lalu meminta izin kembali kepada orang tuanya untuk pergi bermain. Ayahnya yang memasang muka ketus pun Tak menggubris ucapan anaknya. Ia sepertinya memang tidak mengizinkan anaknya untuk bermain. Begitupun juga Mama nya ojan. Ia pun Sebenernya juga tak mengizinkan ojan bermain. Namun melihat muka ojan yang sudah kusam dan terlihat kasian, dengan berat hati mama nya mengizinkannya.
"Yaudah main sana dek. Jangan pulang malam-malam ya. Jangan bawa penyakit juga ke rumah."

Tak pikir panjang, Akhirnya Ojan dalam keadaan suasana hati yang sudah keruh, tanpa berpamitan kepada ayahnya, ia langsung melangkah ke luar rumah. Bodo amat pikirnya ketika ayahnya tidak mengizinkannya. Yang penting saat di luar sana, gua seneng sama temen-temen. Begitulah perkataan suara hatinya.

Beberapa saat setelah ia melangkah ke luar rumah, walhasil tibalah ia di Halte Nanas dengan wajah setengah berkeringat.  Sebenernya Halte ini begitu dekat dengan rumahnya bila ditempuh dengan motor. Namun karena ia tidak diantar oleh ayahnya, terpaksalah ia berjalan kaki ke halte yang berjarak dua kilometer dan bisa memakan waktu lima belas menit.

Pada hari itu, halte Nanas sedang sepi-sepinya. Hanya Ojan yang berada di dalam halte yang tampak begitu bersih. Selain tentunya ada petugas yang berada di pintu masuk. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Ojan Menaiki Bus berwarna biru tersebut ke daerah tujuan tempat ia berjanji dengan temannya. Sebenarnya, Cukup rumit juga perjalanan Ojan kali ini. Selain banyaknya transit yang dilakukan di suatu halte karena pergantian Bus. Tiga kali transit. Ia juga mengalami kesialan pada saat berada di Halte Kuning, tempat dimana ia transit yang kedua kalinya untuk menuju ke suatu wilayah perbatasan ibukota bagian selatan. Ternyata Bus Biru yang melayani rute ke arah tersebut, hanya ada pada hari kerja saja. Sementara ia bermain di hari libur. Ya begitulah memang pada kondisi tengah wabah seperti ini, bukan hanya manusia saja yang dibatasi, namun bus juga.

Setelah berpikir Panjang dan sempat bertanya kepada temannya via Pesan WhatsApp, akhirnya Ojan merubah keputusan. Keputusannya bukan kembali untuk pulang ke rumah, namun melanjutkan perjalanan menggunakan moda Transportasi yang lain, Kereta Api. Ojan pun lalu menaiki Busway ke arah Stasiun terdekat, kemudian langsung menaiki kereta untuk langsung menuju ke arah lokasi tempat ia bermain bersama kawannya.

Setelah memakan waktu satu jam empat puluh menit.

Setelah berdiri cukup lama, karena tidak mendapatkan tempat duduk di kuda besi berpendingan udara di setiap gerbong nya. Akhirnya tibalah Ojan di Stasiun tujuan. Pada saat itu, cuaca yang tadinya panas menggelora berubah menjadi mendung dan mengeluarkan guyuran air hujan. Untung Air yang turun dari langit yang tadinya begitu deras berubah menjadi hanya rintikan saja. Tak lama setelah ia keluar dari stasiun dan menunggu beberapa saat di dekat Trotoar. Tiba-tiba dari arah belakang terdapat dua motor yang menghampiri Ojan. Ternyata itu adalah temannya yang mengajak ia main dan berjanji menjemput ojan di Stasiun ketika telah tiba. Ojan kerap memanggil nya dengan panggilan nama belakang temannya, yaitu Nugro dan Arib.

Setelah terlihat motor itu berhenti tepat di depannya, terlihat Arib yang basah kuyup. Baju dan Celananya terlihat cukup lepek sekali karena tidak memakai jas ujan pada saat  gempuran air dari langit menyerang. Berbeda dengan Arib, Nugro terlihat hanya sedikit basah di bagian bawah celananya, karena cipratan air di jalan.
"ente gimana rib, udah tau musim ujan, gak bawa jas ujan. mana setelan pakaian sama motor udah kaya Ghost rider, necis bener keliatannya. Eh pas kena Ujan malah kucel bener penampilan lu. Persis itu lu modelannya sama orang abis kena Ghosting, lusuh bener HahaHa." 

Cekikian dan kegirangan Ojan di saat melihat temennya yang kehujanan membuat ia melupakan segala problem kecil yang terjadi saat ia diabaikan oleh ayahnya. Namun belum lagi ia menikmati kesenangan dengan duduk tenang sambil menyantap makanan di suatu danau pinggiran, Kejadian sial kembali menghampirinya lagi. Di tengah perjananan menuju danau pinggiran, sebuah laka lantas terjadi. Motor yang ditumpangi oleh Nugro dan Ojan tiba-tiba saja menabrak bagian belakang sebuah mobil berwarna putih. Bhuaaamm, Duaaaagggg!!! 

"aduhhh. Jancukkk tuh mobil udah tau lampu merah masih aja nrobos, ahh siall." Nugro pun langsung reflek berdiri ketika sambil mengatakan itu.

Reaksi sama pun dilakukan oleh Ojan, ia sangat kaget sekali ketika itu. Sampai-sampai kacamata dan topi yang ia gunakan, terlepas bersamaan ketika ia jatuh. Untung saja keduanya tidak terluka dan lecet. Hanya sedikit kaget saja. Ia yang ketika itu diboncengi, tak melihat persis mobil itu dari arah samping terus menerobos jalanan hingga motor Nugro mengerem mendadak lalu menabrak mobil itu. Padahal Nugro ini tidak mengemudikan motornya terlalu kencang pada saat itu. Namun, karena ia terhalangi oleh mobil lain di depannya, jadinya ia tidak melihat bahwa ada mobil lain menerobos dari arah kanan pertigaan. Dan hasilnya Ojan, nugro, dan motornya agak sedikit terpelanting ke bahu jalan. Sementara temen Ojan satu lagi, yaitu Arib tidak menabrak apapun, ia aman-aman saja pada saat itu.

melihat kejadian laka lantas tersebut, tiga orang satpam bergegas menghampiri dan membantu membangkitkan dan meminggirkan motor yang terjatuh tadi. Di saat yang bersamaan, pengguna mobil yang tertabrak tadi juga meminggirkan mobilnya, lalu turun dari mobilnya dan menghampiri Ojan dan Nugro yang ekspresi wajahnya masih terlihat kaget setelah kejadian itu.

"Kalian gak kenapa-napa dan gaada yang luka kan", Tanya pengemudi Mobil dalam keadaan kikuk.

"Gak apa-apa kok pak, cuma kaget aja ini kita", Nugro langsung menimpali dengan jawaban yang lugu.

Sepanjang suasana kejadian tersebut, tidak ada yang meluapkan emosinya sampai baku hantam perkataan dan main tangan siapa yang salah. Nugro dan pengemudi tersebut masing mengemukakan argumen  pembelaannya secara damai bahwa mereka sudah melakukan yang benar. Nugro berpendapat bahwa wajar saja dia tetap meng-gas motornya, karena ia mengetahui bahwa jalur jalan yang dilintasinya sedang berlampu hijau walaupun ia tidak menyadari ada mobil yang tetap nrobos. Sementara di pihak lain, pengemudi mobil berpendapat, wajar saja jika ia tetap menerobos pertigaan tersebut, secara ia melihat bahwa dari jalur berbeda sepertinya nampak sepi, sehingga ia tetap menginjak gas nya.

"Wajar saja dong kalau saya begitu, kan mas tau ini jalanan kota, yang sah-sah saja tetap menerobos di saat di jalur lain sepi walaupun pada saat lampu merah," Begitulah Pembelaannya, yang menurut logika tetap saja ia yang salah.

Kekikukan terjadi lagi setelah obrolan itu. Hingga beberapa menit menjelang, kata damai diantara dua pihak pun disepakati. Jadinya tidak ada ganti rugi di dalam laka lantas tersebut. Padahal kalau dilihat dengan mata, jelas sekali harusnya Nugro meminta ganti rugi kepada pengendara mobil tersebut. Selain ia yang salah, motor Nugro pun juga mengalami sedikit kerusakan di bagian mika lampu depan motornya yang pecah. Karena tak mau ribet dan semakin rumit, Nugro pun mengalah dan tampak pasrah. Daripada pengendara mobil itu juga ikut-ikutan minta ganti rugi karena bagian belakang mobilnya juga agak sedikit penyok, yaudah pikirnya lebih baik diselesaikan dengan sama-sama damai saja.

Perjalanan dilanjutkan ke tempat yang mereka telah sepakati. Setibanya disana Ojan, Arib dan Nugro langsung duduk di sebuah warung makan beralaskan anyaman bambu di tepi danau kecil yang cocok untuk melepas kesumpekan dalam diri. Sambil menunggu makanan dan minuman datang,  Perbincangan tentang wanita yang disukai menjadi topik yang tak ada abis-abisnya dipikirkan dalam pikiran ketiga lelaki agak buaya tersebut.  

Syahdu sekali nongkrong nya Ojan bersama teman-temannya. Obrolan yang walaupun ada bahasan tentang romantika nya, namun disana juga ada obrolan yang terselip makna-makna tentang pembahasan isu-isu mengenai agama. Masalah masa depan mereka setelah kuliah nanti juga telah diobrolkan mulai sekarang. Sebenarnya tak ada yang sia-sia bila Ojan bermain bersama mereka. Pasti Selalu ada diskusinya. Apalagi tempat nongkrongnya mendukung untuk melakukan itu. Bisa dipastikan tak tau waktu bila tak ada yang mengingatkan.

Tiga jam sudah mereka duduk di sebuah warung makan di tepi danau. Waktu yang bila tidak dirasakan cepat sekali berlalunya. Merekapun bangkit dari duduknya, bersiap-siap untuk pulang masing-masing ke rumahnya. Mereka pun resmi benar-benar berpisah setelah mengantarkan Ojan ke Stasiun.

Jangan dikira kisah ini berhenti ketika mereka sudah berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Justru pada saat jalan arah pulang, kesialan dan kemalangan terjadi kembali. Kejadian ini bukan terjadi pada Nugro yang menabrak mobil kembali. Bukan juga kepada Arib yang kehujanan saat pulang. Namun ini terjadi pada Ojan si Anak kereta yang salah mengambil langkah ketika mau turun di Stasiun mana ia. Alih-alih Ojan hendaknya dan biasanya turun di Stasiun Jatibangsa namanya. Namun, untuk sampai di stasiun tersebut, ia harus berganti kereta lagi sebanyak dua kali. Capek lah turun-turun, ungkap nya dalam hati. Maka, agar tidak rumit perjalanan nya, diputuskanlah ia turun di Stasiun Merah dan berganti moda transportasi menaiki busway.

Bukannya mulus dan lancar perjalanannya, malah Busway yang diharapkannya tidak kunjung tiba di tempat pemberhentian plang Busway di samping stasiun tersebut. Dua menit, lima menit, sepuluh menit ia tunggu saja busway itu, namun tak kunjung tiba. Memang perlu diketahui juga, bahwa Ojan menunggu Busway ini bukan di Halte yang sebagaimana mestinya. Yang ada petugas, ada tempat menempel kartu untuk masuk, koridor. Tidak, disana tidak ada Halte. Hanya ada plang biru bergambar Busway yang bertuliskan "Bus Pengumpan Transjakarta".  Maka ia putuskanlah untuk berjalan saja ke arah pusat ibukota. Karena pikirnya, disana ada halte yang sesuai dengan ekspetasinya. Setelah berjalan satu kilometer setengah, ternyata memang benar ada halte disana. Gembiralah dan tenang hatinya. Setelah semakin dekat langkah nya dengan halte, dilihat-lihat kok sepi sekali halte ini, tak ada petugas dan tak ada penumpang yang menunggu. 

Tiba-tiba saja setelah ia sudah menunggu lima menit disana, seorang satpam menghampirinya. Mungkin Satpam itu tau kalau ojan lagi menunggu busway datang dan ia juga terketuk hatinya melihat muka ojan yang mulai gelisah merana, maka tepuklah pundak ojan dari belakang.

"Mas, kalau nunggu Busway yang lewat di halte ini, sampe dua jam kemudian gak bakalan lewat mas. Karena memang biasanya kalau hari libur, Busway tidak beroperasi."

Menyadari hal itu, Ojan agak sedikit lesu. Ternyata ia salah mengambil langkah dan merasa rugi sekali kenapa tadi memutuskan untuk turun dari Kereta. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pak satpam, Ojan melanjutkan perjalanan. Mau tidak mau, ia harus berjalan sekitar dua Kilo meter lagi, untuk menuju Halte yang saat libur busway nya masih beroperasi. Setelah berjalan dan sesekali berlari kecil,  Lima belas menit pun di tempuh untuk bisa sampai di halte JCC.

Sesampainya di halte dan ketika menaiki Busway, Ojan baru menyadari mengapa kemalangan menimpa dirinya. Kebebasan yang dia kehendaki ketika hendak bermain, ternyata terhalang oleh perizinan orang tua yang tidak memperbolehkannya. Sehingga akibat dari tidak diizinkan, maka bermain yang dalam pikirannya adalah sebagai healing pada awalnya berubah menjadi hening dan membuat nyeri tulang kering. Bayangkan, kurang lebih enam kilometer di saat malam ia berjalan untuk mencari halte saja. Apakah ini ada kaitannya dengan masalah perizinan? yang membuat Ojan jadi salah mengambil keputusan. Apakah tiga kali kesialan yang dialami Ojan ada hubungannya dengab izin? Wallahu A'lam. Hanya Allah yang tau. 

Pada akhirnya, Ojan memang tau, bahwa Ridho Allah tergantung pada ridho orang tua. Sempat ia berpikir bahwa saat kejadian kecelakaan tersebut, ia masih selamat dan tidak kenapa-kenapa. Mungkin begitulah Allah mengingatkan kepadanya. Tapi ada satu hal yang perlu diketahui, Ia sejatinya adalah anak penurut, yang sering sekali menuruti perintah kedua orang tuanya. Namun, untuk kali ini, Ojan berpikir Kalau ia dikekang dan tidak diizinkan terus menerus, ia akan tergerus oleh pengalaman-pengalaman di dunia luar yang tidak ia dapatkan dirumah dengan membaca buku. Selama ia masih terus dilarang, selama itu pula ia tidak menghirup udara kebebasan yang nyata. Yha begitulah nasib Ojan, si anak yang serba diatur. Serba di awasi. Serba di telponi. Kebebasan yang belum ia dapatkan pada usianya yang sudah menginjak dua dasawarsa. Memang malang betul jadi Ojan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun