Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan oleh pemerintah sebagai sebuah inisiatif strategis untuk menjawab tantangan gizi dan mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul menuju Indonesia Emas 2045. Program ini berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi dimana sekitar 60% anak-anak dari kalangan keluarga miskin dan rentan miskin tidak memiliki akses yang baik terhadap makanan dengan gizi seimbang. Data Badan Gizi Nasional (BGN) menunjukkan bahwa masalah gizi di Indonesia bersifat kompleks, ditandai dengan Triple Burden of Malnutrition, yaitu kondisi undernutrition (gizi kurang), overnutrition (gizi lebih/obesitas), dan micronutrient deficiency (kekurangan zat gizi mikro) yang terjadi secara bersamaan.
Di satu sisi, prevalensi stunting menunjukkan tren penurunan yang positif, dari 21,5% pada 2023 menjadi 14,8% di 2024. Namun, di sisi lain, program yang bertujuan memutus mata rantai masalah gizi ini menghadapi ujian besar dalam implementasinya. Program yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat (mencakup ibu hamil, ibu menyusui, balita, serta seluruh anak sekolah dari PAUD hingga SMA/sederajat) dan didukung anggaran sangat besar, yaitu Rp 71 triliun pada 2025 yang rencananya akan ditingkatkan menjadi Rp 335 triliun pada 2026, menuai sorotan tajam.
Sorotan ini terutama muncul akibat merebaknya kasus keracunan massal yang dialami oleh peserta didik. Catatan berbagai lembaga menunjukkan jumlah korban yang mengkhawatirkan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 6.452 kasus keracunan di 18 provinsi hingga September 2025, sementara BBC Indonesia melaporkan 5.626 kasus yang tersebar di 16 provinsi, dengan insiden besar terjadi di Banggai Kepulauan (300+ anak) dan Garut (569 anak). Kejadian-kejadian ini memunculkan pertanyaan kritis tentang akuntabilitas, tata kelola, dan kualitas pengawasan program.
Kesenjangan antara tujuan mulia dan realita di lapangan inilah yang melatarbelakangi pentingnya evaluasi menyeluruh. Program yang dirancang untuk memenuhi 25-35% kebutuhan gizi harian anak dan menggerakkan perekonomian lokal melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) ini, dianggap oleh sebagian pengamat seperti Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, lebih fokus pada pencapaian target kuantitatif dan populisme daripada kualitas gizi dan keselamatan anak. Oleh karena itu, evaluasi tidak hanya penting untuk menyelamatkan nyawa dan kesehatan anak-anak, tetapi juga untuk memastikan bahwa investasi besar-besaran ini benar-benar menjadi fondasi yang kokoh bagi terwujudnya Generasi Emas Indonesia 2045. Untuk memberikan gambaran yang ringkas, lihat tabel berikut :
Aspek
Dampak/Temuan Positif
Tantangan/Masalah yang Dihadapi
Kesehatan & Gizi
Peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) anak di beberapa daerah (contoh: Kota Bogor, Aceh). Penurunan prevalensi stunting dari 21.5% (2023) menjadi 14.8% (2024).
Ribuan kasus keracunan makanan tercatat (contoh: 569 anak di Garut, 300+ anak di Banggai Kepulauan) . Keluhan tentang makanan basi, tidak higienis, dan menu tidak variatif.