Orang desa mendambakan hidup di kota, orang kota mendambakan hidup di desa. Kebisingan di tengah-tengah kota, ditambah polusi udara yang tidak sehat, sedangkan didesa tidak pernah satupun melihat gedung-gedung yang menjulang ke langit kecuali di media TV.Â
Di desa banyak hal yang menarik. Unik lagi. Budaya kearipan lokal yang sangat kental. Banyak lahan untuk bercocok tanam. Udara nan segar dan dingin. Secangkir kopi memang teman setia di pagi hari.Â
Kehidupan di desa banyak mengandalkan pertanian. Hampir rata masyarakat di desa mengandalkan hidup dengan tani. Selain dengan adanya lahan untuk bercocok tanam, hidup dengan tani adalah cara yang gampang menopang ekonomi dan tidak terlalu menggunakan modal yang banyak.
Di sisi lain, jika diperhatikan. Pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar hingga SLTA sangat miris bagi anak-anak warga. Mereka sudah terkontaminasi dengan istilah "Sekolah hanya menghabiskan uang" dan barangkali untuk meneruskan pendidikan di jenjang lebih tinggi terasa berat.
Di desa politik sektarian terasa kencang. Padahal sudah di ruang skala kecil. Pemerintah desa dijadikan alat dalam mencari massa. Money politik sangat terasa dalam segala bentuk pemilihan-pemilihan. Saat ini penyakit itu kian akut entah kapan bisa terobati.
Ya. Itu risiko tinggal di desa. Barangkali orang kota juga meresahkan apa yang ada disekelilingnya. Negara kita sungguhlah besar dengan wilayah yang begitu banyak.Â
Anak-anak yang terkontaminasi dengan pendidikan yang dibicarakan di atas tidaklah sedikit. Kesadarannya sudah hilang. Akankah ini bisa berubah? Sebelum membangun di desa sebenarnya yang perlu dibangun dahulu adalah SDM-nya.
Bahkan masjid-masjid yang dibangun dengan biaya mahal tidak berpenghuni. Hal ini juga berangsung-angsur, akhirnya agam sudah mulai dilupakan. Dalam anggapannya agama hanya sekedar status. Subtansi agama mulai hilang.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab?Â