Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Banyak Orang Baik Berbuat Jahat di Media Sosial?

9 Mei 2025   15:03 Diperbarui: 22 Mei 2025   14:19 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- Cyberbullying (Shutterstock via Kompas.com)

Janji bahwa internet akan menyatukan umat manusia kini mulai terdengar naif. Meskipun kecepatan dan jangkauan komunikasi yang ditawarkannya telah memungkinkan pertukaran ide dan kerja sama lintas batas, fitur yang sama juga telah menguatkan kembali kecenderungan tribalisme dan konflik manusia - bahkan mungkin lebih buruk.

Per Maret 2023, pemerintah Indonesia mencatat hampir 1,4 juta kasus konten negatif di media sosial, meliputi ujaran kebencian, hoaks, penipuan, pencemaran nama baik, pornografi, pelanggaran hak cipta, doxing, perjudian, dan perdagangan ilegal. Sementara itu, selama kampanye Pemilu 2024 saja, studi Monash University bersama Aliansi Jurnalis Independen Indonesia menemukan lebih dari 120 ribu cuitan ujaran kebencian.

Lebih mudah untuk mengenyahkan masalah ini dengan menuduh sebagian kecil sosiopat online, atau biasa disebut "troll", sebagai penyebab semua kerusakan tersebut. Dan mereka memang terkadang mengacau: misoginis yang berpartisipasi dalam "Gamergate", sebuah kampanye pelecehan terhadap perempuan dalam industri video game, atau streamer yang memicu kegaduhan publik demi memperoleh banyak audiens.

Bagaimanapun, kenyataannya jauh lebih sederhana tetapi membingungkan: sebagian besar pelakunya adalah orang biasa, seperti Anda dan saya. Dalam situasi yang tepat, siapa pun bisa menjadi troll. Dan tampaknya kita semua terlalu sering berada dalam situasi yang tepat. Mengapa begitu banyak orang-orang (baik) yang berbuat jahat di dunia maya?

Apakah karena platformnya?

X (Twitter) sering dianggap sebagai platform media sosial paling "toxic", tetapi pola bahaya dan keterlibatan serupa juga teramati di platform lain. Hal ini mengindikasikan bahwa dinamika toksisitas daring (online toxicity) mungkin merupakan aspek mendasar dari interaksi manusia di ruang digital, dan tidak terlalu dipengaruhi oleh desain, budaya, atau kebijakan moderasi platform tertentu.

Orang paling baik sekalipun bisa berubah menjadi jahat di media sosial (Gambar dihasilkan oleh Sora OpenAI)
Orang paling baik sekalipun bisa berubah menjadi jahat di media sosial (Gambar dihasilkan oleh Sora OpenAI)

Jadi, apakah ada sesuatu di media sosial yang membuat sebagian orang, bahkan mereka yang sangat ramah sekalipun di dunia nyata, berperilaku buruk? Ada apa dengan lingkungan media sosial yang menyebabkan lebih banyak toksisitas selama komunikasi sosial daripada yang kita temukan dalam komunikasi tatap muka?

Anonimitas merupakan faktor yang paling banyak dibahas. Kedengarannya memang masuk akal untuk mengasumsikan bahwa orang lebih berani mengeluarkan sifat terburuknya secara online ketika semua orang tidak mengenalnya. Tanyakan saja pada orang yang memiliki second account, kemudian bandingkan bagaimana mereka berperilaku di first account-nya.

Namun, betapa pun menghibur untuk berpikir bahwa di luar sana ada musuh tidak dikenal yang bertanggung jawab atas kerusakan ini, sebuah studi tahun 2017 tentang komentar Wikipedia menemukan bahwa lebih dari separuh serangan pribadi terhadap editor Wikipedia dilakukan oleh para kontributor terdaftar, bukan akun anonim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun