Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

7 Persoalan dalam Industri Self-Help yang Patut Diwaspadai

12 Maret 2023   06:00 Diperbarui: 13 Maret 2023   03:34 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku-buku self-help biasanya menjadi best-seller, tetapi ada beberapa persoalan serius tentangnya | Ilustrasi oleh Thought Catalog via Pixabay

Buku-buku self-help (pengembangan diri, self-improvement, atau apa pun istilahnya) punya daya tarik yang begitu besar bagi masyarakat kita, khususnya kaum muda yang mulai merasa tersesat dalam arus kehidupan.

Itu hasil riset, meski saya mendramatisasi yang terakhir. Jika kita datang ke toko buku, biasanya genre self-help dipajang dekat pintu masuk dengan label "best-seller". Di YouTube, tema-tema ini juga mendominasi dengan rata-rata views yang sangat tinggi.

Tak heran kalau industri ini bernilai miliaran dolar, kategori non-fiksi dengan pertumbuhan tercepat. Pada saat yang sama, kita bisa melihat betapa masyarakat kita haus akan nasihat. Kita mencari kebijaksanaan dan saran praktis dalam apa yang kita baca, dengar, atau tonton.

Namun, kendati industri self-help telah mengubah kehidupan jutaan orang (saya asumsikan mayoritas menjadi lebih baik), industri ini masih kurang kredibel bagi banyak orang. Sebagian menertawakannya sebagai takhayul, yang lain merasa tak puas sama sekali.

Berikut adalah 7 persoalan utama dalam industri self-help saat ini.

1. Mengeksploitasi populasi yang rentan

Kebanyakan kreator self-help biasanya memangsa populasi yang rentan, seperti mereka yang sedang berjuang melawan kecanduan, penyakit mental, atau krisis finansial. Orang mungkin menganggap ini masuk akal. Bukankah mereka memang membutuhkan bantuan?

Betul, tapi ironi dari semua ini adalah, genre self-help lebih membantu orang-orang yang sedari awalnya sudah baik-baik saja. Bagi mereka yang termasuk populasi rentan, buku-buku self-help justru jarang membantu dan bahkan malah berbahaya.

Mereka yang terpuruk sering kali gagal karena mereka dijejali pandangan yang memvalidasi segala keburukan dan kekurangan mereka. Dalam pengertian ini, alih-alih perbaikan, industri self-help membenarkan rasa rendah diri seseorang, yang lalu membuatnya makin putus asa.

Mereka mungkin berkata, "Wow, betapa buruknya aku. Ternyata aku seorang pengecut lebih dari yang selama ini aku kira." Ini sama seperti ketika saya menganggap diri tak berparas tampan, lalu kakak saya bilang begini: "Kau memang jelek, makanya coba bla-bla-bla."

Meski niatnya memberi saran, sebagai orang yang rendah diri, saya lebih menerima apa yang membenarkan keyakinan saya ketimbang nasihat-nasihat yang menyertainya.

Sekarang asumsikan bahwa mereka bersedia untuk mengikuti "kebijaksanaan" orang lain, kata demi kata. Ironisnya, prasyarat agar self-help jadi efektif ialah satu hal krusial yang tak ditawarkan oleh self-help: menerima diri sendiri sebagai orang yang bisa berbuat salah.

Mereka yang terpuruk, sebaliknya, memandang kesalahan atau keburukan mereka sebagai kutukan yang dapat dihilangkan melalui saran-saran orang lain. Namun, makin jauh mereka membaca, makin banyak keburukan yang dibenarkan. Mereka makin putus asa.

Inilah mengapa buku-buku self-help lebih berguna bagi mereka yang sedari awalnya sudah baik-baik saja. Misal, ketika saya cukup yakin tentang paras saya, lalu saya membaca sebuah buku mengenai cara merawat wajah, saya bakal bilang: "Oh, keren, aku bisa mencobanya."

Dalam konteks itu, saya tak tertekan untuk berhasil, sebab saya memang tak berharap sebesar itu. Pada dasarnya, saya sudah merasa percaya diri, jadi mengapa tidak untuk mencoba saran buku itu guna menambah kepercayaan diri saya. Jika gagal, saya tak peduli.

Ini adalah kebenaran yang menyedihkan bahwa orang-orang "bijak" memangsa mereka yang putus asa, menawari mereka bantuan dengan menagih sejumlah uang. Lantas mereka dijejali motivasi selama belasan jam, padahal tak ada kehidupan yang sesempurna itu.

2. Kebanyakan hanya mengemas ulang

Ketika saya memasuki toko buku atau melakukan pencarian di internet, buku-buku self-help lama masih kerap terlihat, seperti karangan Dale Carnegie dan Napoleon Hill, tapi saya juga menemukan generasi baru dari tema ini yang judulnya terasa begitu memikat.

Kemudian saya mencari ulasannya di internet, yang ternyata (nyaris) semua dari buku-buku itu hanya mengangkat tema lama dengan judul dan gaya bahasa yang kekinian. Mereka tak bisa dipersalahkan atas hal ini, tapi saya tak rela keluar uang untuk itu.

Meski kedengarannya menyegarkan, saya bertanya-tanya apakah itu merupakan kebenaran menyedihkan lainnya bahwa orang-orang "bijak" berusaha mengeruk untung dari populasi rentan yang sedang mencari bantuan.

Faktanya, orang akan selalu mencari informasi self-help. Jika Anda bisa menonjol dari yang lain, Anda bakal menjual banyak buku walau isinya bukan sesuatu yang baru. Ambil contoh buku self-help "generasi baru" terpopuler yang bersampul oranye (Anda tahu, kan).

Apa yang membuat buku ini begitu laris? Apakah karena isinya begitu orisinal? Orang boleh berpendapat tulisannya memukau, tapi keliru kalau mengatakannya orisinal. Para filsuf di zaman kuno sudah mengatakan hal-hal semacam itu. Lalu, apa lagi?

Kalau ada satu faktor utama yang membuat buku ini begitu laris, saya kira faktor itu adalah judulnya. Jarang ada buku self-help yang begitu menarik perhatian kita dengan judulnya. Tak perlu dikatakan lagi, para pelanggan berbondong-bondong untuk membelinya.

Jika Anda membacanya dalam versi bahasa Inggris, yang berarti terbitan aslinya sebelum ada sensor kata oleh penerjemah, Anda bakal menemukan banyak sekali kata umpatan, seolah pengarangnya menulis hanya untuk menumpahkan rasa depresinya.

Ini bukan ungkapan benci saya pada pengarangnya. Malah, saya telah lama mengikuti blog-nya. Di sini saya sekadar memberi contoh tentang poin kedua saya: self-help jarang memberi pengetahuan baru, tapi bikin kita ketagihan untuk membacanya.

3. Efek plasebo

Ini adalah sebuah industri, sebuah bisnis. Tak ada yang salah dengan membuat bisnis, tapi ketika kita membayar untuk sebuah layanan, mungkin mereka hanya berniat memaksimalkan keuntungan dan bukannya membantu kita. Inilah yang menimbulkan masalah.

Dengan motif keuntungan, insentifnya bukan pada menciptakan perubahan nyata, melainkan persepsi perubahan nyata. Ini dapat dilakukan dengan efek plasebo: konsumen yang cemas dibuat tenang oleh lebih banyak informasi, sehingga merasa seperti relaksasi.

Mereka kemudian menciptakan sensasi pencapaian dan perbaikan, tapi biasanya menghilang dalam beberapa hari atau minggu. Setelahnya, mereka kembali merasa cemas sebagaimana dialaminya seminggu yang lalu.

Terlebih, banyak produk self-help yang menjanjikan solusi cepat dan mudah untuk aneka persoalan kompleks. Ini bisa menimbulkan ekspektasi yang tak realistis dan kekecewaan saat hasilnya tak terwujud dengan cukup cepat.

4. Kurangnya regulasi

Industri self-help jarang diatur, yang berarti siapa pun dapat menyebut diri mereka sebagai motivator dan profesional meski tanpa kredensial atau keahlian apa pun. Ketika semua orang mengaku sebagai ahli, kita biasanya dihadapkan pada saran-saran yang saling bertentangan.

Haruskah saya melakukan lebih banyak, atau lebih sedikit? Haruskah saya mengunduh aplikasi meditasi, atau berhenti bermain ponsel? Haruskah saya membuat jadwal ketat, atau mengikuti arus?

Semua itu menunjukkan kebenaran paling penting soal self-help: semua penulis membagikan perjalanan, pengalaman, atau pendapat terbaik mereka. Dan itulah yang berhasil buat mereka. Kita ingin solusi mereka juga berhasil untuk kita, tapi itu amat jarang terjadi.

Jadi, apa gunanya semua ini? Sekarang kita harus memetakan kemajuan kita, menghitung langkah kita, menyadari ritme tidur kita, mengubah pola makan kita, mencatat kegelisahan kita. Analisis semua data itu, kalibrasi ulang. Begitu seterusnya.

Saya agak malu atas pernyataan itu, seolah saya adalah seorang psikolog yang hendak menasihati Anda. Intinya cukup sederhana: tak apa untuk mengetahui apa yang berhasil bagi orang lain, tapi jangan berasumsi semua itu juga cocok buat kita. Jadilah skeptis.

Praktikkan sesuai konteks, yang berarti kita harus mengenal diri sendiri terlebih dulu. Sebuah buku self-help tak bisa membantu kita kalau kita sendiri tak tahu pasti apa yang dibutuhkan. Tak ada orang yang bisa membahagiakan kita, bahkan guru self-help sekalipun.

5. Maraknya pseudosains dan informasi yang salah

Konsekuensi dari poin sebelumnya adalah, industri self-help dibanjiri ilmu pengetahuan yang semu (pseudosains) dan bahkan informasi yang salah. Mereka kerap menyajikan klaim tanpa dukungan bukti ilmiah, sekadar memberitahu pembaca bahwa cara itu berhasil bagi mereka.

Tentu ada beberapa praktik self-help yang telah divalidasi secara ilmiah: meditasi atau mindfulness, menulis jurnal, berbagi dengan orang lain. Namun, kebanyakan darinya hanyalah pseudosains: ramalan kartu, telekinesis dan, agak kontroversi, the law of attraction.

Inilah imbas dari industri yang menawarkan bantuan kepada banyak orang tapi digerakkan oleh pasar, bukan industri yang ditinjau oleh para ahli. Demikianlah, pembaca bertanggung jawab untuk menyaring materi, dan ini bukanlah perkara mudah.

Kata-kata mutiara saja bukan berarti itu benar dalam kehidupan nyata.

6. Terlalu fokus pada aspek kebahagiaan

Robert Plutchik menciptakan sebuah model emosi berbentuk roda, yang mana menurutnya kita memiliki 8 emosi dasar serta 24 variasi dan kombinasinya. Namun industri self-help biasanya terobsesi dengan satu hal: kebahagiaan.

Penekanan ini, alih-alih membantu kita mencapai atau mempertahankan kebahagiaan, justru sering berujung pada frustrasi karena menjadi bahagia sepanjang waktu bukanlah tujuan yang masuk akal. Ironisnya lagi, kebahagiaan bukan untuk dikejar.

Memang, kita semua mencari sesuatu yang dapat memberikan kebahagiaan, atau setidaknya meringankan penderitaan kita. Namun pencarian itu terlalu disederhanakan dan menjauhkan kita dari jalan pertumbuhan-diri yang lebih mendalam.

Penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Lebih tepatnya, semua emosi memiliki makna dan tujuannya tersendiri jika kita mampu mengetahui apa yang dikatakan emosi kepada kita. Saya bahkan sering mengira betapa hampanya hidup jika orang hanya mengalami satu emosi saja.

7. Mengabaikan masalah sistemik

Produk-produk self-help sering kali berfokus pada perilaku dan pola pikir individu, tanpa menangani masalah sistemik yang lebih besar. Padahal, dalam banyak contoh, masalah itulah yang menyebabkan pengembangan pribadi sangat sulit.

Bayangkan jika saya menasihati warga Palestina atau Ukraina dengan kalimat berikut: "Coba periksa diri Anda sendiri. Kecemasan tak bisa muncul tanpa izin Anda. Semuanya bersumber dari pikiran. Esok pagi, bermeditasilah dan resapi keagungan alam sekitar Anda."

Saya tak tahu apakah karier saya masih bakal selamat. Masalahnya jelas bukan pada mereka, melainkan sistem sosial-politik yang lebih rumit. Jika mereka terus dipaksa mundur ke dalam diri mereka sendiri, persoalan sistemik yang menyiksa mereka tak akan pernah teratasi.

Itu adalah personalisasi yang berlebihan, sekaligus contoh yang mengerikan. Mari kita buat lebih sederhana. Jika kondisi Bumi makin memburuk hingga sulit untuk bernapas, orang tak akan bisa jogging atau meditasi seperti yang disarankan guru-guru self-help.

Orang tak bisa meningkatkan produktivitasnya kalau mereka terus dieksploitasi oleh bosnya. Mereka yang berasal dari ras minoritas bakal seterusnya merasa rendah diri kalau persoalan diskriminasi diabaikan.

Pada intinya , penting untuk memeriksa dan memperbaiki diri sendiri, tapi solusinya tak lengkap. Inilah mengapa sebagian besar akademisi dan aktivis kurang antusias terhadap tema-tema self-help: ini membuat orang tak menyadari dirinya sedang dihegemoni.

Sebagai penutup, mengingat saya sudah lama berhenti membaca buku-buku bertemakan self-help, perlu saya akui bahwa industri ini sering menyajikan wawasan yang menghibur. Namun secara bersamaan, saya juga merasa terganggu.

Ketika semua buku atau konten mendorong saya sepanjang waktu untuk menjadi lebih baik, lebih pintar, dan lebih bijaksana, saya bisa mulai merasa ditekan dan diburu. Semua itu ialah kesempatan untuk memperbaiki diri, sekaligus kesempatan untuk gagal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun