Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Harus Perempuan, 5 Penulis Laki-laki Ini juga Mendukung Feminisme

6 Maret 2023   07:16 Diperbarui: 8 Maret 2023   16:21 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tak harus perempuan, laki-laki juga bisa menjadi seorang feminis | Ilustrasi oleh Markus Winkler via Pixabay

Bisakah pria menjadi seorang feminis? Jawaban singkatnya: Ya. Jawaban agak panjangnya: Duh, ya. Kendati terdapat perdebatan emosional di forum-forum diskusi online tentang itu, kesimpulannya barangkali sangat mendasar: semua itu tak terlalu penting.

Apa yang penting, misogini adalah sangkar bagi kita semua, dan bahwa ketidakbebasan perempuan juga merupakan ketidakbebasan laki-laki. Terlebih, meskipun pengalaman perempuan bukanlah pengalaman laki-laki, kita semua tetap bisa menjadi sekutu.

Faktanya, dalam rentang sejarah intelektual, sejumlah penulis---atau harus saya katakan, filsuf---laki-laki juga mendukung feminisme, di mana mereka tidak sibuk mengklaim diri sebagai feminis, pun tidak sebaliknya. Mereka tahu nilai dirinya.

Berikut adalah lima di antara penulis-penulis tersebut.

Charles Fourier (1772-1837)

Siapa sangka bahwa istilah "feminisme" pertama kali dicetuskan tahun 1837 oleh seorang pria, atau tepatnya filsuf dan sosialis utopis Perancis Charles Fourier. Baginya, kebebasan absah sebagai kebebasan hanya jika itu diberikan secara inklusif.


Tanpa pengentasan penderitaan perempuan, kemajuan sosial bakal terus terhambat. Dalam hal ini, Fourier menyoroti institusi ekonomi dan pernikahan: perempuan merupakan korban ekonomi-industrial dan pemenuhan asmara.

Semua pekerjaan penting harusnya terbuka untuk semua orang, tanpa terkecuali, atas dasar kemampuan dan bakat. Secara blak-blakan, Fourier menegaskan bahwa perempuan adalah individu utuh, bukannya separuh manusia---pandangan yang agak dominan di zamannya.

Pengaturan anarkis dari sistem ekonomi, bagi Fourier, menghasilkan lebih banyak kerugian dan kesulitan bagi perempuan ketimbang laki-laki. Memang, laki-laki menghadapi kondisi kerja yang buruk dan kemiskinan, sehingga dirinya begitu kelaparan dan putus asa.

Perempuan menanggung "penderitaan kuadrat": mereka tidak hanya miskin, tetapi juga ditekan seumur hidup oleh prasangka gender di hampir semua aspek kehidupan, sehingga cenderung dipinggirkan secara sistemik dan spontan---kecuali mungkin di dunia pelacuran.

Dalam lingkup rumah tangga, menurut Fourier, kehidupan perempuan juga tidak membaik. Setelah menikah, selain terikat seumur hidup, perempuan juga harus tunduk kepada suami. Apa yang salah tentang ini adalah, suami memperlakukan istri selayaknya benda.

Fourier bahkan mencatat bahwa di Inggris, negeri yang katanya "beradab", seorang suami masih bisa menjual istrinya kepada lelaki lain dengan senang hati. Fourier kemudian memfokuskan pembebasan setiap individu dalam dua hal, sesuai teori utopianya.

Pertama, pendidikan harus dimulai sedini mungkin dan terbuka untuk semua orang, serta ditangani oleh para ahli yang terampil. Kedua, setiap orang dibebaskan untuk memenuhi potensinya, dibebaskan dari semua opresi dan frustrasi.

Jika semua itu terwujud, Fourier percaya semua masalah manusia dapat dihilangkan: tidak hanya kebutuhan ekonomi seperti rasa lapar dan tempat tinggal, tetapi juga kebosanan, kegelisahan, dan frustrasi seksual.

Terlepas dari visinya yang terlalu fantastis, feminisme Fourier tentang perlunya menilik penderitaan dan penindasan perempuan secara serius memiliki nuansa kontemporer. Itulah mengapa (sebagian) gagasan dan kritiknya masih cukup relevan bagi kita kini.

John Stuart Mill (1806-1873)

John Stuart Mill dapat dianggap sebagai satu dari sedikit pengecualian untuk karakter androsentris filsafat Barat. Dalam hal ini, alih-alih mendevaluasi perempuan atau tetap diam tentangnya, Mill mengembangkan ide-ide soal kesetaraan gender.

Terlebih, Mill juga bukan seorang penulis yang terisolasi sendirian di menara gading. Selama menjadi anggota parlemen Inggris, meski singkat, Mill memperjuangkan hak pilih bagi perempuan dan beragam produk hukum lainnya yang menyangkut nasib perempuan.

Tidak seperti Bentham (gurunya) dan James Mill (ayahnya), Mill berpendapat bahwa tujuan utama lembaga sosial dan politik adalah untuk mengembangkan potensi manusia ke tahap setinggi mungkin. Dari sinilah gagasan feminisme Mill berkembang.

Subordinasi perempuan dalam kehidupan publik dan sipil, politik dan ranah pengambilan keputusan, merupakan salah satu penghambat utama kemajuan dan peningkatan moral umat manusia (Mill, 1869, hlm. 1).

Dengan begitu, konsekuensi dari penindasan terhadap perempuan juga memengaruhi laki-laki secara negatif. Bahkan, kalaupun itu tidak banyak, sebagai pemikir liberal, Mill tetap akan menentang perampasan kebebasan perempuan.

Memang, dari tulisan-tulisannya, argumen Mill terkait pembebasan perempuan merupakan penerapan prinsip utilitarianisme dan liberalisme yang dijunjungnya.

Dari sisi utilitarianisme, bahwa kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesarlah yang menjadi ukuran benar dan salah, subordinasi perempuan bakal mengikis kebahagiaan mereka, yang berarti turut mengurangi agregat kesejahteraan seluruh masyarakat.

Dari perspektif liberalisme, Mill menentang subordinasi perempuan karena mereka juga berhak memiliki pilihan yang bebas dan rasional tentang bagaimana mereka menjalani hidupnya. Dengan begitulah perempuan menjadi individu yang otonom.

John Stoltenberg (lahir tahun 1944)

John Stoltenberg adalah aktivis yang menentang kekerasan seksual, penulis buku "Refusing to Be a Man: Essays on Sex and Justice" (1989). Sejak tahun 2000, dia giat mengampanyekan pencegahan pelecehan seksual dengan tema "My strength is not for hurting".

Ada perbudakan dan sadisme dalam pornografi, menurut Stoltenberg, yang mendorong pria untuk memperlakukan wanita sebagai masokis. Wanita ditundukkan untuk menikmati rasa sakit dan penghinaan; jika mereka diperkosa, mereka (dipaksa) menikmatinya.

Kesimpulannya yang paling banyak dikutip barangkali adalah ini: "Pornografi berbohong tentang perempuan. Namun, pornografi mengatakan kebenaran tentang laki-laki."

Itu berarti, bagi Stoltenberg, pornografi adalah representasi akurat dari cara laki-laki, gay atau heteroseksual, membangun seksualitas mereka di sekitar dominasi, objektifikasi, dan dehumanisasi perempuan.

Apa yang disebut maskulinitas, termasuk identitas seksual laki-laki, sepenuhnya merupakan konstruksi politik dan etika yang keuntungannya tumbuh dari ketidakadilan. Namun, justru karena maskulinitas hanyalah hasil konstruksi, maka dimungkinkan untuk menolaknya.

Kasus yang sama juga berlaku untuk perempuan. Bahkan, selain melawan dan mengubah konstruksi politik dan etika yang menomorduakan perempuan, laki-laki juga bisa ikut serta dalam pembebasan tersebut (Stoltenberg, 2000, hlm. xxxi).

Memang, banyak perempuan memiliki keluhan yang dapat dibenarkan tentang individu pria yang mengabaikannya. Namun, para lelaki seharusnya tahu lebih baik soal apa yang harus dilakukan, sehingga tak perlu dibentak dan diajak oleh perempuan untuk bersekutu.

Sebagaimana orang kulit putih mengikuti gerakan hak-hak sipil orang kulit hitam di Amerika, anak-anak kelas atas dalam gerakan keadilan ekonomi, orang non-Yahudi dalam gerakan menentang anti-semitisme, begitu pula semestinya laki-laki dalam gerakan feminisme.

Sekutu yang berkomitmen dengan tulus seperti itu, bagi Stoltenberg, selalu mengenali dan mengakui hak istimewa yang berasal dari keanggotaan mereka dalam kelas dominan. Ini berarti, kontribusi lelaki terhadap feminisme agak lain daripada peran perempuan sendiri.

Kaum lelaki pertama-tama harus mengakui hak istimewa mereka, tidak pernah lupa bahwa mereka adalah bagian dari kelas dominan. Dengan begitu, mereka mesti mendekonstruksi dan menginterupsi supremasi laki-laki dari dalam.

Pendeknya, kaum lelaki dapat menjadi "informan orang dalam".

Michael Kaufman (lahir tahun 1951)

Feminisme biasanya dipandang bertentangan dengan kepentingan laki-laki. Akibatnya, pria yang menemukan jalan menuju feminisme kerap terguncang dari posisi sempit itu, sehingga mereka melihat dirinya hanya lebih dari sekadar pria biasa, bukan seorang feminis.

Penulis dan pendidik Kanada Michael Kaufman menentang asumsi itu. Alih-alih merugikan, Kaufman berpendapat bahwa feminisme justru merupakan berkah yang luar biasa bagi laki-laki. Bahkan, sebagian besar pria sebenarnya sudah feminis secara laten.

Dalam dunia yang didominasi laki-laki, dunia pria, menurut definisi Kaufman, adalah dunia kekuasaan. Di tingkat individu, mayoritas dari apa yang kita kaitkan dengan maskulinitas bergantung pada kapasitas lelaki untuk menggunakan kekuasaan dan kontrol.

Namun, kehidupan aktual lelaki berbicara tentang realitas yang berbeda. Kekuasaan mereka tercemar. Lelaki menikmati berbagai bentuk hak istimewa, tetapi cara mereka mengatur dunia kekuasaan itu menyebabkan rasa sakit yang luar biasa, isolasi, dan keterasingan.

Ini bukan untuk menyamakan rasa sakit yang dialami laki-laki dengan segala penindasan dan subordinasi perempuan yang sistemik dan sistematis. Sebaliknya, Kaufman hendak bilang bahwa kekuasaan duniawi laki-laki ada harganya (Brod & Kaufman, 1994, hlm. 59).

Kombinasi antara kekuasaan dan rasa sakit itu adalah kisah tersembunyi kehidupan lelaki, yang sekaligus begitu kontradiktif. Feminisme, upaya untuk menyetarakan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, karenanya dapat mengurangi kontradiksi itu.

Dengan kata lain, ketika kekuasaan laki-laki ditantang, apa yang datang sebagai kompensasi, hadiah, atau pengalih perhatian seumur hidup dari rasa sakit yang mungkin terjadi semakin berkurang atau, setidaknya, dipertanyakan.

Jadi, laki-laki harusnya terus mendengarkan suara dan pengalaman perempuan. Ini bukan semata-mata simbol belas kasih antar sesama manusia, tapi juga potensi untuk membebaskan laki-laki dan membantu menemukan maskulinitas baru yang (lebih) steril.

Paul B. Preciado (lahir tahun 1970)

Terlahir sebagai perempuan di utara Spanyol, Paul B. Preciado, seorang filsuf yang juga murid dari filsuf Jacques Derrida, berusaha untuk menghancurkan biner yang didirikan oleh kekuatan patriarki.

Bagi Preciado, dunia ini ditakdirkan untuk binasa sehingga kita harus mengambil sendiri tugas membangun yang baru, mendekonstruksi tatanan usang. Lewat dorongan emansipasi dan rasa pusing tipikal para pemimpi, Preciado mulai menguraikan dunia baru itu.

Dalam karyanya "An Apartment on Uranus", Preciado menelusuri peralihannya dari Beatriz menjadi Paul B. Transisi gender telah menggeser nilai tubuhnya dalam ruang sosial, serta memberinya pandangan yang sama sekali berbeda tentang kekuasaan.

Menurutnya, ketika orang mengidentifikasi diri sebagai non-biner, maka semua kategori identitas gender lainnya runtuh. Barangkali inilah keunikan dari (trans)feminisme Preciado: dia tidak melihatnya dari sudut laki-laki atau perempuan, tetapi dari celah-celahnya.

Orang mungkin berasumsi bahwa penyebab keprihatinan Preciado berakar pada ketegangan antara politik transgender dan beberapa aliran feminisme. Namun, faktanya, teks-teks Preciado sering memakai karya-karya feminis untuk mengekspresikan gagasannya.

Preciado menunjukkan rasa lapar akan ide-ide feminis. Dia melahap aneka teori yang berbicara kepadanya, membiarkannya menyatu dalam tubuhnya, dan, kemudian, menggunakannya untuk menginformasikan kisahnya sendiri sebagai seorang transgender.

Ketika dia menjadi "sesuatu yang ditaruh di dalam sesuatu", kisahnya menjadi sebuah wadah ketubuhan.

Pengalaman hidupnya seolah-olah dia adalah seorang laki-laki (sadar bahwa dirinya korban fiksi politik), Preciado memiliki kesempatan untuk memeriksa bahwa kelas penguasa (laki-laki) tak akan melepaskan hak-hak istimewanya hanya karena kita berkoar di Twitter.

Para patriark heteroseksual dan kulit putih, menurutnya, telah memulai sebuah proyek reformasi tandingan untuk membungkam gaung feminisme (Preciado, 2018). Karenanya, ini bakal menjadi perang seribu tahun, perang terlama dari semua perang.

Apa yang menjadi ciri khas posisi laki-laki hari ini adalah kenyataan bahwa kedaulatan laki-laki didefinisikan oleh penggunaan teknik-teknik kekerasan yang sah (terhadap perempuan, anak-anak, hewan, dan planet secara keseluruhan).

Maskulinitas laki-laki ditentukan oleh seberapa besar kekuasaannya, atau pendeknya, laki-laki ideal di zaman kita adalah para penakluk. Kita harus mendekonstruksinya. Ini bukanlah sesuatu yang bisa kita hilangkan dalam satu generasi. Ini adalah proyek sejarah.

Sebagai penutup, penting untuk dicatat bahwa keterlibatan tokoh-tokoh di atas dengan feminisme mengambil berbagai bentuk, serta dimotivasi oleh alasan-alasan yang berbeda. Dan, seperti pemikir besar lainnya, ide-ide mereka tak seharusnya berada di luar kritik.

Namun, itu bukan berarti lelaki tak bisa menjadi feminis (sejati). Itu hanya berarti, ada argumen dan perbedaan dan kegagalan dalam feminisme, sebagaimana proyek emansipasi mana pun (atau bahkan dalam upaya manusia mana pun).

Tugas kita adalah melanjutkan apa-apa yang perlu dilanjutkan, menyingkirkan hal-hal yang keliru dan, kalau mungkin, menggantikannya dengan yang benar. Itulah keindahan dunia intelektual: kita tak memulainya dari ruang hampa, tapi dari reruntuhan pemikir lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun