Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jika Uang Tak Membeli Kebahagiaan, Mungkin Anda Salah Membelanjakannya

9 Februari 2023   18:33 Diperbarui: 9 Februari 2023   22:26 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang bisa membeli kebahagiaan kalau kita membelanjakannya dengan benar | Ilustrasi oleh Robert Lens via Pixabay

Sebagai seorang mahasiswa yang dibebani banyak biaya, saya memperoleh sejumlah uang lewat menulis. Tapi, saya tak suka menulis untuk memperoleh uang. Saya ingin mengerjakan sebuah karya serius, berjangka panjang, yang tak bisa berorientasi pada uang.

Apa yang saya lakukan adalah, saya bakal berusaha memperoleh uang sampai batas tertentu untuk memungkinkan saya merasa aman dan terpenuhi. Jika sudah, saya bakal memakai uang saya untuk membeli waktu luang. Uang membantu saya "membeli" kebebasan.

Orang boleh saja membelanjakan uangnya untuk kursus piano atau tari balet atau liburan ke Paris. Menurut poin pertama kita, sejauh kita membeli pengalaman ketimbang barang, besar kemungkinan kita akan merasa bahagia.

Tapi poin itu juga mengisyaratkan pesan lainnya: kita harus tahu batas dalam pengejaran kita akan uang. Jika kita memakai seluruh waktu kita untuk mencari uang, kita tak akan pernah bisa membeli pengalaman, sebab pengalaman mengharuskan waktu luang.

Saya sering mengingatkan diri saya, "Tentu aku tak punya cukup uang, dan memang tak akan pernah."

Tatkala keinginan material lebih besar, pencapaiannya akan membutuhkan sumber keuangan yang lebih besar, dan situasi keuangan yang dirasakan bakal lebih buruk pada tingkat sumber daya tertentu (Johnson & Krueger, 2006).

Akibatnya, kita akan selalu merasakan kesenjangan yang terlampau jauh antara keinginan dan kemampuan kita untuk mencapainya.

Akan tetapi, bukan berarti membeli barang adalah salah. Studi lainnya berkesimpulan bahwa, dalam sudut pandang individu, uang bisa meningkatkan kepuasan hidup kalau pembelian disesuaikan dengan kepribadian atau karakter psikologis (Matz dkk., 2016).

Seseorang yang hobinya mendaki gunung dan mudah berbaur dengan orang lain barangkali akan berpendapat bahwa pengalaman lebih berharga daripada barang. Namun, bagi seorang introvert, kebahagiaannya mungkin adalah membeli buku baru ketimbang mendaki gunung.

Secara umum, intinya kita harus memastikan apakah pembelian kita dimaksudkan untuk membawa kita ke kesehatan dan kesejahteraan kita, atau sekadar terbawa tren dan gengsi sosial. Jika kita ada di opsi pertama, pengalaman ataupun barang bukanlah persoalan besar.

Terlebih, sebelum memutuskan untuk membelanjakan uang kita, sebaiknya kita menimbang-nimbang dulu tentang simpanan yang kita perlukan agar merasa aman. Percuma kita membeli pengalaman yang begitu berharga, tapi pengorbanannya adalah semua uang kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun