Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tawa sebagai Terapi Diri

5 Januari 2023   11:34 Diperbarui: 5 Januari 2023   12:55 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam komunikasi yang cenderung membangkitkan emosi negatif, seperti mengumumkan kabar buruk dan meminta maaf, humor dapat menaburkan kegembiraan untuk mengurangi, atau bahkan mencekal, emosi negatif.

Namun, manfaat semacam itu justru hanya akan terwujud kalau kita tak mengharapkannya. Humor dikejar, seperti kata Aquinas, untuk kesenangan. Sama seperti bermain musik: orang yang memainkannya untuk mengobati stres mungkin malah mendapati stresnya bertambah.

Sebagai terapi diri, tawa bisa meredakan penderitaan, tapi tak bisa menyembuhkan penyakit (Bennett dkk., 2014). Jadi, kegunaan tawa terbatas pada mengurangi rasa sakit dan cemas.

Namun, bukankah sebagian besar perawatan kesehatan kita memang ditujukan untuk mengurangi gejala penyakit, yang menyiratkan bahwa tawa mungkin merupakan terapi diri yang efektif sekaligus jarang dipertimbangkan?

Terlebih, tawa juga membantu orang untuk melihat rasa sakit dan penderitaan dari sudut pandang yang berbeda. Dengan begitu, meskipun rasa sakitnya mungkin tak hilang sama sekali, tapi dunia di luar rasa sakit itu bakal terlihat sangat berbeda.

Adakah waktu yang salah untuk tertawa?

Senin, 2 Januari 2023, bibi saya meninggal dunia. Tak ada sakit berkepanjangan atau keluhan serius, beliau pergi begitu mendadak dan, saya rasa, penuh ketenangan. "Beliau seolah tahu batas waktunya dan ingin pergi tanpa menyusahkan siapa pun," tutur seorang saudari kami.

Saya tahu betapa pun jelasnya bahwa setiap orang akan pergi, namun saat-saat kepergian itu selalu mengejutkan. Sewaktu proses pemakaman, kami hanya terus membacakan doa tanpa mengucapkan sepatah kata lain.

Selepas pemakaman selesai, suasana yang menyelimuti kami tiba-tiba jadi lebih cair. Seorang ibu yang tak saya kenal melemparkan candaan, yang itu pun tak saya ingat persis kalimatnya, dan entah bagaimana membuat hampir semua orang tertawa tipis.

Candaan itu mengetuk pintu lelucon lainnya. Tangis telah mengering, dan orang-orang pergi meninggalkan pemakaman dengan saling melempar tawa. Saya masih berdiri dekat makam bibi saya, memerhatikan mereka dalam tatapan kosong.

"Apakah etis untuk bercanda dan tertawa di depan keluarga yang tengah berduka?" tanya saya dalam hati, sesaat sampai di rumah. Saya memikirkannya pada malam itu, dan sekarang saya merasa lebih lega: tak ada jawaban pasti untuk pertanyaan itu.

Tentu hati kami terasa remuk, dan kami juga tak punya penjelasan pasti mengapa di tengah duka seperti itu kami masih bisa saling melempar lelucon, tertawa kecil dan kadang lepas, seolah berusaha merekatkan kembali piring yang pecah. Ini semua terjadi spontan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun