Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tawa sebagai Terapi Diri

5 Januari 2023   11:34 Diperbarui: 5 Januari 2023   12:55 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya menanyai teman tentang apa yang penting dalam hidup mereka, biasanya mereka menyebut humor, atau tepatnya sesuatu yang dihasilkan oleh humor: tawa. Bahkan beberapa dari mereka menempatkan "selera humor" di atau dekat bagian atas kriteria pasangan ideal.

Di samping itu, humor dan tawa juga merupakan obat tragedi. "Ras manusia hanya punya satu senjata yang sangat efektif, dan itu adalah tawa," kata Mark Twain. Atau, seperti kata Jim Butcher, "Tertawa ... membuat Anda tak bunuh diri ketika semuanya buruk."

Keampuhan tawa sebagai terapi diri, misalnya, dapat ditemukan dalam kisah Viktor Frankl. Dalam hari-hari yang suram dan menyakitkan di kamp Auschwitz, Frankl mengaku cukup terkejut saat mendapati adanya rasa humor di antara tahanan-tahanan Nazi.

Meskipun humor tersebut hanya berupa jejak yang samar, dan muncul selama beberapa detik atau beberapa menit saja, kekuatan yang dihasilkannya tetap efektif. "Humor merupakan senjata jiwa yang lain dalam upaya seseorang untuk bertahan hidup," tulis Frankl.

Menurut kesaksiannya, humor, lebih dari apa pun, telah mengatasi keterasingan para tahanan Nazi dan mampu muncul dalam situasi tergelap sekalipun. Frankl bahkan mengajak seorang temannya di kamp konsentrasi untuk mengembangkan rasa humor mereka dari hari ke hari.

Dia mengusulkan agar mereka berdua membuat setidaknya satu anekdot lucu setiap hari. Bagi Frankl, memandang segala sesuatu dari sudut pandang yang lucu merupakan suatu muslihat, bagian dari pelajaran tentang seni kehidupan.

"Kami tertawa dan membuat lelucon, walaupun kami harus menjalani hukuman berikutnya yang berlangsung selama beberapa jam," tuturnya.

Humor, manusia, dan filsafat

Sepanjang sejarah, tawa tak selalu dihubungkan dengan humor. Philebus-nya Plato menyebut tawa sebagai bentuk kedengkian yang mengalir di sepanjang sadisme. Plato agaknya merujuk pada drama komedi, yang membuat orang menertawakan kemalangan orang lain.

Dalam The Nicomachean Ethics, humor membawa sedikit makna etis bagi Aristoteles, yang tak mempertimbangkan gagasan selera humor dapat membuat seseorang jauh lebih buruk daripada orang kasar. Atau singkatnya, Aristoteles tak terlalu sinis seperti gurunya, Plato.

Filsuf Stoic Epictetus menyarankan agar orang sebisa mungkin menahan diri untuk membuat lelucon. Canda dan tawa, menurutnya, dapat mengurangi harga diri seseorang di mata orang lain. "Janganlah tawamu menjadi keras, sering, atau tak terkendali," ujarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun