Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tawa sebagai Terapi Diri

5 Januari 2023   11:34 Diperbarui: 5 Januari 2023   12:55 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tawa mungkin tak bisa menyembuhkan penyakit, tapi tawa bisa meredakan penderitaan | Ilustrasi oleh Petra via Pixabay

Ketika saya menanyai teman tentang apa yang penting dalam hidup mereka, biasanya mereka menyebut humor, atau tepatnya sesuatu yang dihasilkan oleh humor: tawa. Bahkan beberapa dari mereka menempatkan "selera humor" di atau dekat bagian atas kriteria pasangan ideal.

Di samping itu, humor dan tawa juga merupakan obat tragedi. "Ras manusia hanya punya satu senjata yang sangat efektif, dan itu adalah tawa," kata Mark Twain. Atau, seperti kata Jim Butcher, "Tertawa ... membuat Anda tak bunuh diri ketika semuanya buruk."

Keampuhan tawa sebagai terapi diri, misalnya, dapat ditemukan dalam kisah Viktor Frankl. Dalam hari-hari yang suram dan menyakitkan di kamp Auschwitz, Frankl mengaku cukup terkejut saat mendapati adanya rasa humor di antara tahanan-tahanan Nazi.

Meskipun humor tersebut hanya berupa jejak yang samar, dan muncul selama beberapa detik atau beberapa menit saja, kekuatan yang dihasilkannya tetap efektif. "Humor merupakan senjata jiwa yang lain dalam upaya seseorang untuk bertahan hidup," tulis Frankl.

Menurut kesaksiannya, humor, lebih dari apa pun, telah mengatasi keterasingan para tahanan Nazi dan mampu muncul dalam situasi tergelap sekalipun. Frankl bahkan mengajak seorang temannya di kamp konsentrasi untuk mengembangkan rasa humor mereka dari hari ke hari.

Dia mengusulkan agar mereka berdua membuat setidaknya satu anekdot lucu setiap hari. Bagi Frankl, memandang segala sesuatu dari sudut pandang yang lucu merupakan suatu muslihat, bagian dari pelajaran tentang seni kehidupan.

"Kami tertawa dan membuat lelucon, walaupun kami harus menjalani hukuman berikutnya yang berlangsung selama beberapa jam," tuturnya.

Humor, manusia, dan filsafat

Sepanjang sejarah, tawa tak selalu dihubungkan dengan humor. Philebus-nya Plato menyebut tawa sebagai bentuk kedengkian yang mengalir di sepanjang sadisme. Plato agaknya merujuk pada drama komedi, yang membuat orang menertawakan kemalangan orang lain.

Dalam The Nicomachean Ethics, humor membawa sedikit makna etis bagi Aristoteles, yang tak mempertimbangkan gagasan selera humor dapat membuat seseorang jauh lebih buruk daripada orang kasar. Atau singkatnya, Aristoteles tak terlalu sinis seperti gurunya, Plato.

Filsuf Stoic Epictetus menyarankan agar orang sebisa mungkin menahan diri untuk membuat lelucon. Canda dan tawa, menurutnya, dapat mengurangi harga diri seseorang di mata orang lain. "Janganlah tawamu menjadi keras, sering, atau tak terkendali," ujarnya.

Pandangan terhadap humor tampaknya baru melunak saat Descartes mencatat bahwa tawa dapat menjadi koreksi sosial, meskipun si pembuat lelucon harus menahan tawanya sendiri. Tak aneh kalau Descartes mengembangkan suatu etiket dalam menceritakan lelucon.

Maju ke abad-20, nada berbeda tentang humor dan tawa, misalnya, disampaikan oleh filsuf dan sosiolog Jerman Helmuth Plessner. Menurutnya, hanya manusia dan bukan hewan yang tertawa dan menangis, pendapat yang merepresentasikan dirinya sebagai antropolog filosofis.

Ada dua komentar yang bisa saya sampaikan.

Pertama, tawa dianggap sebagai fitur manusia yang unik, keistimewaan manusia. Tapi seiring waktu, kisah homosentris tentang humor dan tawa telah dicurigai, menggores permukaan sebuah fenomena yang lebih luas.

Selaras dengan pandangan Darwin, kita bisa meyakini bahwa tawa telah dipraktikkan oleh nenek moyang kita jauh sebelum mereka pantas disebut manusia. Belakangan para peneliti terus melacak evolusi tawa pada primata non-manusia, bahkan hewan pengerat (Palagi dkk., 2022).

Kedua, sangat sedikit filsuf yang menganggap humor sebagai sejenis kesenangan, apalagi melihat manfaat dari kesenangan semacam itu. Kant berbicara tentang lelucon sebagai "permainan pikiran", tapi tak melihat adanya nilai berharga bagi rasio di dalamnya.

Salah satu dari sedikit pemikir yang mengidentikkan humor dengan kesenangan adalah Thomas Aquinas. Menurutnya, hidup itu mencakup istirahat dan juga aktivitas, sehingga di dalamnya termasuk waktu luang dan hiburan.

Sebagaimana kelelahan tubuh dapat dikurangi dengan mengistirahatkan tubuh, keletihan psikologis pun dapat diredakan dengan mengistirahatkan jiwa. Kesenangan adalah istirahat bagi jiwa, menurut Thomas Aquinas.

Sarana mencari kesenangan, salah satunya, adalah humor.

Pandangan positif tentang humor dan tawa terus berkembang. Pada akhir abad ke-20, banyak psikolog yang menegaskan penilaian Aquinas tentang humor sebagai hal yang baik. Terlebih, lelucon juga ternyata memiliki manfaat sosial.

Terlibat dalam humor bisa menumbuhkan toleransi terhadap ambiguitas dan keragaman, serta mendorong pemecahan masalah secara kreatif. Ini bisa berfungsi sebagai pelumas sosial, membentuk kepercayaan dan meredakan konflik.

Dalam komunikasi yang cenderung membangkitkan emosi negatif, seperti mengumumkan kabar buruk dan meminta maaf, humor dapat menaburkan kegembiraan untuk mengurangi, atau bahkan mencekal, emosi negatif.

Namun, manfaat semacam itu justru hanya akan terwujud kalau kita tak mengharapkannya. Humor dikejar, seperti kata Aquinas, untuk kesenangan. Sama seperti bermain musik: orang yang memainkannya untuk mengobati stres mungkin malah mendapati stresnya bertambah.

Sebagai terapi diri, tawa bisa meredakan penderitaan, tapi tak bisa menyembuhkan penyakit (Bennett dkk., 2014). Jadi, kegunaan tawa terbatas pada mengurangi rasa sakit dan cemas.

Namun, bukankah sebagian besar perawatan kesehatan kita memang ditujukan untuk mengurangi gejala penyakit, yang menyiratkan bahwa tawa mungkin merupakan terapi diri yang efektif sekaligus jarang dipertimbangkan?

Terlebih, tawa juga membantu orang untuk melihat rasa sakit dan penderitaan dari sudut pandang yang berbeda. Dengan begitu, meskipun rasa sakitnya mungkin tak hilang sama sekali, tapi dunia di luar rasa sakit itu bakal terlihat sangat berbeda.

Adakah waktu yang salah untuk tertawa?

Senin, 2 Januari 2023, bibi saya meninggal dunia. Tak ada sakit berkepanjangan atau keluhan serius, beliau pergi begitu mendadak dan, saya rasa, penuh ketenangan. "Beliau seolah tahu batas waktunya dan ingin pergi tanpa menyusahkan siapa pun," tutur seorang saudari kami.

Saya tahu betapa pun jelasnya bahwa setiap orang akan pergi, namun saat-saat kepergian itu selalu mengejutkan. Sewaktu proses pemakaman, kami hanya terus membacakan doa tanpa mengucapkan sepatah kata lain.

Selepas pemakaman selesai, suasana yang menyelimuti kami tiba-tiba jadi lebih cair. Seorang ibu yang tak saya kenal melemparkan candaan, yang itu pun tak saya ingat persis kalimatnya, dan entah bagaimana membuat hampir semua orang tertawa tipis.

Candaan itu mengetuk pintu lelucon lainnya. Tangis telah mengering, dan orang-orang pergi meninggalkan pemakaman dengan saling melempar tawa. Saya masih berdiri dekat makam bibi saya, memerhatikan mereka dalam tatapan kosong.

"Apakah etis untuk bercanda dan tertawa di depan keluarga yang tengah berduka?" tanya saya dalam hati, sesaat sampai di rumah. Saya memikirkannya pada malam itu, dan sekarang saya merasa lebih lega: tak ada jawaban pasti untuk pertanyaan itu.

Tentu hati kami terasa remuk, dan kami juga tak punya penjelasan pasti mengapa di tengah duka seperti itu kami masih bisa saling melempar lelucon, tertawa kecil dan kadang lepas, seolah berusaha merekatkan kembali piring yang pecah. Ini semua terjadi spontan.

Bisa dibilang, kami diliputi rasa humor yang menyakitkan.

Tertawa di hadapan tragedi orang lain jelas tak pantas, tapi hanya karena kami berduka dan kehilangan seseorang yang tak mungkin lagi kembali, tak berarti semua humor harus dicabut dan dihapus dari percakapan kami.

Saya belajar bahwa humor dan kematian bisa menjadi kombinasi yang tepat. Tentu kematian bukanlah hal yang bisa ditertawakan, tapi tawa dapat membantu meredakan ketegangan dengan membiarkan orang melihat kematian dari sudut pandang yang berbeda.

Akhir-akhir ini ada beberapa upaya untuk menganalisis cara-cara bahwa lelucon lucu bisa salah tempat dan waktu. Ini melibatkan hubungan antara tanggung jawab dan tawa. Masalahnya adalah, tak ada jawaban memuaskan untuk problem ini.

Analisis tentang humor dan panduan etiket tampaknya tak cukup memadai untuk memahami lelucon sepenuhnya, sehingga diskusi etis tentang humor yang berfokus pada kebajikan hanya bisa menawarkan kata-kata hampa:

"Tawa itu bisa menjengkelkan. Tak sopan menganggap leluconmu sendiri terlalu lucu. Kadang-kadang kejam untuk tertawa di depan penderitaan orang lain. Tutup mulutmu dan berempatilah pada mereka yang sedang berduka."

Itu semua bisa benar, tapi juga cenderung melebih-lebihkan seolah humor dan tawa adalah sesuatu yang, kurang-lebih, terkutuk dan tak manusiawi.

Sejauh humor dapat dikendalikan, kita mungkin bertanggung jawab untuk melontarkan sesuatu yang lucu. Paling masuk akal, tanggung jawab ini berarti orang dapat dipersalahkan jika terjadi beberapa kerugian atas leluconnya.

Dalam kasus saya, ketika orang bergurau dan tertawa tipis di pemakaman bibi saya, tak saya temukan seorang pun yang tersinggung olehnya. Justru, terus terang, hari itu kami telah membagi tangis dan tawa, dua hal yang tampak asing padahal berdekatan.

Tentu, menertawakan jenis lelucon tertentu di waktu tertentu dapat bermasalah, setidaknya inilah keyakinan saya. Tapi ini tak berarti suasana duka sekalipun harus tanpa humor.

Ini hanya berarti kita harus selalu mencoba untuk menentukan mengapa kita menertawakan lelucon tertentu, dan pemeriksaan ini menyiratkan pemeriksaan pada diri kita sendiri sebagai subjek seperti halnya pemeriksaan terhadap seluruh bentuk kehidupan kita.

Jadi, meskipun mungkin secara praktis dan bukan teoretis, poin pentingnya adalah bahwa kita sering kesulitan mengetahui mengapa seseorang, termasuk yang menyakiti diri kita sendiri, terhibur oleh sesuatu.

Dalam pengertian ini, humor menyerupai sebuah optik: ini adalah ekspresi dari cara tertentu dalam menghuni dan melihat dunia. Dan karena orang memakai optik yang berbeda, sulit untuk menentukan kapan waktu yang salah untuk mengekspresikan lelucon.

Saya kira jika kita cukup dewasa untuk menanggapi problem ini, kita bisa menentukannya sendiri secara intuitif dan spontan. Kita harusnya tahu batas dan lingkup kewajaran masyarakat, atau setidaknya lingkungan terdekat kita.

Dalam banyak kasus, entah disadari atau tidak, kita sebenarnya tahu kapan boleh bercanda dan kapan harus serius.

Hidup memanglah serius, dan kalaulah kita bisa melihat semua kesengsaraan hidup dalam sekali waktu, kita akan sangat menderita hingga ingin mati. Tapi karena hidup ini serius, dan karena kita butuh semangat, kita memerlukan tawa secara konstan untuk melepas penat.

Manusia yang selalu tertawa jelas konyol. Tapi orang yang tak bisa tertawa sebaiknya mulai berkonsultasi dengan dokternya. Dia sakit. Dia tak punya kelenturan jiwa yang sangat diperlukan untuk memikul beban hidup dengan mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun